(Part 14) Pemanfaatan Teman teman Sheila

 Minggu kedua mengajar...

"Capeek~" kataku lemas sambil rebahan di kasur kamarku, Aku baru saja pulang dari sekolah, suaraku habis dan staminaku terkuras, anak anak itu memang agak sulit diatur, sehingga aku harus teriak teriak.

sayup sayup Adzan magrib mulai terdengar, yah, setidaknya aku shalat dulu baru makan dan mandi, begitu pikirku, kemudain aku masuk ke kamar mandi dan berwudhu, kemudian lanjut shalat.

Selesai shalat, aku mengambil HP ku dan membuka WhatsApp, disitu aku melihat ada nomor tak kukenal men chatku "Halo kak Andi" katanya dalam chat itu 'Siapa ini? kenapa dia bisa tahu nomor dan bahkan namaku juga' aku merasa nomor ini bukan penipu, kemungkinan ini dari orang yang kukenal.

karena lapar dan agak malas untuk mengetik, aku langsung meneloponnya.

"Halo?" kata pemilik nomor itu, Ah, aku kenal suara ini.

"Ini Sheila ya?" kataku sedikit terkejut.

"Oh, kok kakak bisa tahu?" tanyanya dengan suara yang ceria.

"Dari suaramu itu udah jelas banget lho Shei" jawabku singkat.

"Ooh, gitu, hahaha" jawabnya sambil tertawa.

"Darimana kamu bisa tahu nomor aku?" tanyaku langsung.

"Dari Bu Indah, aku nanyain kemarin" jawabnya, Oh, pantas saja.

"Ooh, oke deh, tapi kenapa kamu nyari nomor aku?" tanyaku.

"Gini kak" katanya dengan suara kecil "Waktu kakak hairplay aku, kakak sempet minta aku buat cariin temen temen aku yang rambutnya panjang juga kan?" katanya "Nah, aku tahu itu siapa aja, dan aku juga udah tanyain mereka, mau gak rambut mereka dihairplay?" ceritanya.

"Terus mereka jawab apa?" tanyaku.

"Mereka jawab mau, tapi ada syaratnya" jawab Sheila.

Syarat? tanyaku dalam hati "Apa syaratnya?" tanyaku penasaran.

"Syaratnya, mereka mau dihairplay sama kakak, asal dibayar" kata Sheila sambil cekikikan.

Apa? itu luar nalar, kataku dalam hati dengan muka layu, tak masalah sih sebenarnya "Mereka minta bayaran berapa?" tanyaku langsung.

"Gak tahu, mereka gak jawab, katanya nanti aja kalau udah ketemu sama kakak langsung" jawab Sheila datar.

Hei, yang bener aja "kalau gitu, boleh kamu kasih nomor mereka? sama jelasin info info mereka ke aku?" kataku.

"Boleh" jawab Sheila.

Percakapan telpon itu terus berlangsung selama setengah jam, kemudian aku sudah berhasil mendapatkan data data temannya.

Ada Tiga orang, yang pertama bernama Siti, kelas 3 SD, dengan panjang rambut sampai pantatnya dan rambutnya tebal, orang keturunan Arab dan indo, yang kedua bernama Anisa, kelas 5 SD, dengan panjang rambut sampai pinggangnya dan rambutnya tebal juga, yang ketiga masih kecil, namanya Rita, kelas 2 SD, panjang rambutnya sepantat lebih, konon katanya dia terakhir kali potong rambut saat 3 tahun.

'Lumayan, ini menarik sekali' kataku dalam hati, kemudian aku chat mereka satu satu dan memperkenalkan diri, kemudian aku membuat grup untuk mereka dan janjian bertemu di sekolah besok hari Selasa setelah pulang sekolah.

Kesokan harinya, Hari berjalan seperti biasa, namun setiap kali aku bertemu dengan Sheila di kelas, dia selalu tersenyum ceria dan seakan-akan mengisyaratkan sesuatu. Aku hanya bisa membalas senyumnya dengan anggukan kecil, berusaha tetap tenang meski rasa penasaran dan sedikit kegelisahan terus menggelayut di pikiranku.

Akhirnya, bel pulang berbunyi. Suara riuh anak-anak bergegas meninggalkan sekolah, tetapi aku tahu bahwa tugas hari ini belum usai. Aku menunggu di depan gerbang sekolah seperti yang sudah dijanjikan. Tak lama kemudian, Sheila datang bersama tiga teman yang sudah disebutkannya kemarin, mereka semua berhijab.

"Ini mereka, Kak!" Sheila memperkenalkan teman-temannya satu per satu. Siti, Anisa, dan Rita, semuanya tampak malu-malu saat pertama kali bertemu denganku, tetapi rasa penasaran di mata mereka tak bisa disembunyikan "Makasih udah mau dateng, ya," kataku ramah.

Sheila dan teman temannya

Anisa, yang tampak paling percaya diri di antara mereka, angkat bicara, "Iya, Kak. tapi mungkin kakak udah tahu kita mau minta apa kan?, kita mau dibayar dulu, hehe" Aku hanya tersenyum, semoga mereka meminta bayaran yang ngotak saja "Oke soal bayaran itu, Kira-kira kalian mau dibayar berapa?" tanyaku

Ketiga gadis itu saling berpandangan sebelum Anisa menjawab, "Kita gak minta banyak kok, Kak. Yang penting, kita semua dapat uang jajan tambahan"

Aku menghela napas lega mendengar bahwa mereka tidak meminta jumlah yang berlebihan "kalau gitu, hmm... RP 20.000 seorang cukup?" kataku, kemudian mereka berpikir sejenak kemudian setuju "Hmm boleh kak" jawab mereka.

Kemudian aku mengajak mereka ke rumah kosong yang sedang direnovasi di dekat sekolah, Dulu, rumah itu tempat dimana aku berhasil membuka hijab Sarah dan memainkan rambutnya meski Sarah menangis, kemudian mereka setuju.

Dirumah itu, kami naik ke lantai dua dan masuk kekamar yang luas namun tidak memiliki lubang untuk kaca, kemudian aku mengambil 4 ember besar yang cukup kuat untuk mereka duduki "Sheila juga mau ikut? nanti aku bayar juga kok" tanyaku "Boleh kak, hehe" jawabnya.

Kemudian aku menata 4 ember itu berjejer, dan menyuruh mereka semua untuk duduk di ember yang telah kusediakan "Hijabnya kita lepas dulu kak?" tanya Rita sambil memegang peniti hijabnya, bersiap untuk melepasnya.

"Gak usah, biar aku aja yang nanti buka hijab kalian" jawabku "Oh, oke kak" kata Rita, kemudian aku mengambil foto mereka yang sedang duduk berjejer itu dari belakang, kemudian aku mengambil sisir dari tasku dan memulai nya dari kiri, urutannya yaitu Siti, Sheila, Anisa, dan terakhir Rita.

"Aku mulai dari Siti ya, kalian boleh ngapain aja asal tetep duduk disitu oke?" tanyaku "Oke kak" semuanya menjawab serempak, sedangkan Siti hanya diam sambil kondenya aku remas remas, Sheila mengambil HP nya dan mengechat ibunya kalau ia akan pulang terlambat, Anisa membuka TikTok dan Rita menggambar di buku gambarnya.

Aku kemudian membuka peniti hijab Siti, kemudian melepaskan hijabnya dan menaruhnya diatas tasnya,

Kemudian aku melepas peniti hijabnya perlahan, dan membuka hijabnya perlahan "Tahan ya kalau sakit" kataku sambil memegang gelungan rambutnya, Siti hanya mengangguk, kemudian aku menarik ikat rambut yang menggelung rambutnya yang tebal itu perlahan, kepala Siti sedikit tertarik kebelakang dan matanya terpejam menahan sedikit rasa sakit yang sedikit terasa, kemudian rambutnya pun tergerai dan menjuntai sampai pantatnya, kemudian aku mulai menyisir rambutnya, beberapa kali tersangkut karena rambutnya agak kusut meski masih halus dan wangi, membuatnya tergerai sempurna, Siti terlihat sangat menikmati setiap tarikan sisir, matanya terpejam dan bibirnya membentuk senyum tipis.

Setelah beberapa lama, kemudian aku berpindah ke Sheila, aku menepuk gelungan rambut Sheila yang sedang asik memainkan HPnya, kemudian tersenyum dan berkata "Sok aja kak, aku udah siap" jawabnya, kemudian aku meremas remas gelungannya sementara Sheila menyimpan HPnya karena ingin menikmati hairplaynya.

Seperti saat itu, aku melepas peniti dan hijabnya, kemudian gelungan rambutnya, dan menarik rambutnya yang sepantat itu terus terusan, sesekali aku menariknya dengan keras hingga kepalanya tersentak ke belakang, dengan bisikan "Ah... Ah... Ah..." terus terusan, sepertinya Sheila memang menyukai Hairplay dengan gaya kasar, kemudian aku menyisir rambutnya kedepan mukanya dan menundukan kepalanya, kemudian aku menyisir rambutnya.

Setelah Sheila, aku perpindah ke Anisa, Aku mengawalinya dengan menyingkapkan bagian belakang hijabnya dan meremas remas gelungannya "Mainnya pelan pelan ya kak, jangan kayak Sheila" katanya, dia agak takut kalau aku akan memainkan rambutnya seperti aku memainkan rambutnya Sheila, Sheila hanya tertawa mendengarnya "Teteh takut ya?" tanya Sheila sambil menggelung rambutnya, Anisa hanya cemberut mendengarnya sambil gelungan rambutnya kubuka pelan pelan sesuai permintaannya, dari kanan Anisa, Rita hanya melihat semuanya dengan mata yang penasaran.

kemudian aku mengeraikan rambutnya, Rambutnya yang sepinggang memang lebih pendek dari yang lain, tapi tetap tebal dan berkilau, Anisa tertawa kecil setiap kali sisir menyentuh kulit kepalanya, membuat suasana menjadi lebih santai, kemudian aku menarik narik rambutnya pelan pelan "Pelan pelan ya kak" katanya dengan nada pasrah, ia tak bisa menghentikanku menarik rambutnya sehingga ia memintaku untuk pelan pelan menariknya.

Setelah Anisa, kemudian giliran Rita, ia adalah yang paling kecil, namun juga yang paling antusias, Rita ternyata sudah menungguku dari tadi "Sekarang giliran aku ya kak Andi?" tanyanya polos, aku menganguk dan memegang kepalanya kemudian mengarahkannya kedepan, setelah itu, aku menyingkapkan hijabnya perlahan, kemudian meremas remas kondenya, mata Rita terpejam menikmatinya sambil tertawa kecil karena geli.

Setelah itu, aku melepas Hijabnya dan menaruhnya di pangkuan Rita, Rita menerimannya dengan senyuman, kemudian aku melepas gelungan rambutnya dan menggeraikan rambutnya, aku terkejut, ternyata panjang Rambutnya melebihi pantatnya, hampir sepaha, ujungnya sedikit pirang karena diwarnai "Kamu gak pernah potong rambut sama sekali?" tanyaku, yang lain melihat rambut Rita terkejut, tidak menyangka rambutnya akan sepanjang itu.

"Iya kak, terrakhir aku potong pas umur 3 tahun" jawabnya, kemudian aku melanjutkan hairplay dengan menyisir rambutnya, Saat aku mulai menyisir rambutnya, dia tertawa geli, tetapi tetap bertahan dengan antusias.

Setelah itu sesi hairplay pun berakhir.

Tapi apakah sampai sini saja?

Ooh, tentu tidak, ini belum selesai, aku punya rencana bagus saat masih dirumah yaitu...

Memotong dan mengambil rambut mereka!

Aku menahan mereka yang sudah siap untuk pulang dengan senyuman di wajahku. "Tunggu sebentar," kataku, sambil menyimpan sisir yang baru saja aku gunakan ke dalam tas. Anak-anak itu menoleh, dengan ekspresi bingung di wajah mereka "Kenapa, Kak?" tanya Sheila, mewakili yang lain.

"Begini, sebelum kalian pulang, aku ingin memberikan sesuatu yang spesial buat kalian," kataku sambil mengeluarkan gunting kecil dari dalam tasku. "Kalian pernah dengar tentang menyimpan kenangan, kan? Bagaimana kalau kita membuat kenangan dari rambut kalian?"

Mereka tampak bingung. Anisa adalah yang pertama bereaksi, "Maksudnya, Kak?"

Aku tersenyum lembut. "Aku ingin memotong sedikit rambut kalian dan menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Ini hanya sedikit, tidak akan banyak, dan aku pastikan kalian tetap punya rambut yang panjang dan indah."

Siti dan Sheila tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju. Anisa masih tampak ragu, tapi akhirnya mengikuti keputusan teman-temannya. Aku bisa melihat rasa penasaran di mata mereka, tapi juga ada kepercayaan yang besar kepada diriku "Baiklah," kataku sambil membuka gunting. "Kita mulai dari Sheila, ya."

Sheila duduk kembali di ember yang tadi digunakan, menundukkan kepala sambil menunggu. Aku memegang gunting dengan hati-hati, dan memegang rambutnya.

Potong sedikit itu bohong, aku akan mengambil semuanya sampai menyisakan sedikit!

'KRESS!... KRESS!... KREEESSS!...

Sheila terkejut, begitu juga yang lain.

"Ka.. Kakak! kenapa potong dari leher?!!!!" jerit Sheila "Katanya sedikit aja?!" Isak Sheila mulai menangis, aku hanya tersenyum puas saat melihat rambut panjang Sheila yang telah kuikat menjadi ponytail terpotong, helai demi helai. Jeritan dan tangisan Sheila mengisi ruangan, tetapi aku tak terpengaruh. Rasanya aneh, seperti ada dorongan kuat yang mendorongku untuk melakukan ini. Adrenalin mengalir dalam darahku, semakin membuatku tidak bisa berhenti.

Siti, Anisa, dan Rita tampak sangat ketakutan, wajah mereka pucat dan tangan mereka gemetar. Mereka terkejut dan tak tahu harus berbuat apa. "Maaf tapi  aku gak tahan sama rambut kalian" kataku sambil menatap mereka dengan tatapan yang tenang namun dingin, sambil tetap melanjutkan memotong rambut Sheila.

"Kak Andi, tolong... Jangan lakukan ini," rintih Anisa sambil mundur ketakutan. "Kita bilang cuma sedikit aja..."

Namun, aku tidak menghentikan tindakan itu. Saat rambut Sheila tinggal Sebahu, aku akhirnya berhenti. Aku memegang ponytail rambutnya dengan puas, melihat potongan rambut panjang yang sekarang hanya tinggal sebahu.

"Rambut panjangmu terlalu indah untuk disia-siakan, Sheila," kataku dengan nada datar, mencoba menenangkan diri sendiri meskipun aku tahu bahwa yang kulakukan ini sudah melampaui batas.

Sheila hanya menangis tersedu-sedu, menutupi wajahnya dengan tangannya, merasa marah dan kecewa. Siti dan Rita mulai menangis juga, tak berani bergerak karena takut diperlakukan sama.

Aku mendekati Anisa dengan gunting yang masih ada di tanganku.

Anisa mencoba kabur bersama yang lain, tapi percuma saja, pintunya kukunci, aku mengunci pintunya dan mencabut kuncinya saat mereka memelih mau duduk dimana, tubuh mereka gemetar terlalu keras, mereka hanya bisa pasrah, Aku dengan mudah meraih hijabnya dan menariknya ke ember untuk duduk lagi disana "Kak... tolong jangan" katanya dengan nafas terengah engah karena takut dan dengan mata terpejam lemas.

 aku membuka hijabnya dan membuatkan ponytail, lalu mendekatkan gunting ke rambutnya. Tangisnya pecah, tapi ia terlalu ketakutan untuk melawan. Aku merasakan campuran antara kuasa dan rasa bersalah yang samar, tetapi dorongan aneh itu terus mendorongku. "Anisa, ini hanya akan sebentar," bisikku dengan nada yang tak meyakinkan bahkan untuk diriku sendiri.

'KRESS!'

Gunting mulai memotong rambut panjang Anisa, yang berkilauan indah dalam cahaya redup ruangan. Aku memotongnya tanpa ragu, memendekkan rambutnya hingga tersisa sedikit di atas bahu. Setiap helai yang terpotong membuat tangisannya semakin keras, tapi aku terus saja melanjutkan.

Setelah aku mendapatkan rambut Anisa, aku beralih ke Siti.

Siti sudah gemetar hebat, matanya memohon ampun sebelum aku bahkan menyentuhnya. Dia mencoba bergerak mundur, tapi ruangan kecil ini tidak memberi banyak ruang untuk melarikan diri. Aku mengarahkan pandanganku yang tajam padanya, dan dia tahu tidak ada tempat untuk bersembunyi.

"Jangan, Kak... tolong..." suaranya hampir hilang dalam gemetar ketakutan, tapi itu hanya membuatku makin terangsang, Aku membuka hijabnya dan memotong rambutnya, yang panjang dan terawat, lalu memaksanya untuk duduk. Siti mulai terisak, suaranya pecah ketika ia merasakan gunting mulai menyentuh ujung rambutnya.

"Kamu tidak perlu takut, Siti. Ini hanya rambut," kataku dengan nada yang anehnya tenang, seolah-olah tindakan brutal ini adalah hal yang biasa. Namun, jauh di dalam diriku, ada sesuatu yang berbisik bahwa ini salah, bahwa aku telah melangkah terlalu jauh. Tapi dorongan itu, keinginan yang tak terjelaskan, tetap menguasai diriku.

'KREEESSS... KRESS...'

Aku memotong rambut Siti dengan tenang, menikmati setiap detik detik ponytail nya akan terlepas dari kepalanya. Setiap helai yang terpotong membuat tangisan Siti semakin keras, tapi tak ada yang bisa dilakukan oleh ketiga gadis ini. Siti kini menangis tersedu-sedu, rambutnya yang dulu panjang dan indah kini hanya tinggal seutas saja, pendek dan tak rapi.

Dengan sisa rambutnya yang sebahu, aku akhirnya berhenti. Aku melihat hasil karya tanganku dengan perasaan puas, meskipun ada perasaan bersalah yang mulai merayap di hatiku. Tangisan mereka memenuhi ruangan, suara kesedihan yang nyata dan murni.

Aku beralih ke Rita yang duduk lemas di lantai, ia sudah tidak teriak histeris lagi, ia sudah pasrah meski masih menangis.

"Nah, Rita... sekarang giliran kamu, ayo duduk lagi ke ember dan buka hijabmu" kataku dingin.

Rita hanya menatapku dengan mata yang penuh ketakutan dan keputusasaan. Tubuhnya gemetar hebat, dan tangisan yang semakin parah membuat ruangan terasa semakin mencekam. Ia perlahan bangkit dari posisinya, langkahnya berat dan penuh rasa takut. Ketika ia duduk kembali di ember, wajahnya tertutup tangan, berusaha menahan isaknya.

Aku meraih hijabnya dengan hati-hati “Rita, ini hanya sebentar,” kataku, berusaha memberi kesan tenang meskipun hatiku semakin penuh rasa bersalah. Aku menarik hijabnya perlahan, memperlihatkan rambut panjangnya yang indah.

Aku membuat ponytail seperti sebelumnya, dan.

KREEES!

Saat aku mulai memotong, guntingku bergerak dengan ketelitian yang penuh. Setiap 'kress' yang terdengar membuat Rita merasa sedih, Setiap helai rambut yang terpotong menambah rasa sakit dan penyesalan yang semakin mendalam bagi Rita.

Setelah selesai, aku memasukan Rambut Siti dan Rita ke tasku.


Dari kiri ke kanan, Rita, Anisa, Sheila, Siti
(Ilustrasi)


"Kakak jahat!" kata Sheila "Aku kira kakak orang baik, ternyata penipu!!" jerit Rita, Aku menghela nafas, aku juga gemataran, aku tidak menyangka kalau aku akan melakukan hal ini, tapi memang aku ingin mendapatkan rambut mereka, untungnya aku sudah menyiapkan bayarannya.

Aku mengambil 4 buntel Uang yang total masing masingnya Rp 300.000, aku juga mengeluarkan 4 HP baru, yah, tidak sulit menyiapkan uang sebanyak ini, karena Ayahku direktur bank dan juga aku yang berkerja sebagai pemijat, yang setiap hari rumahku didatangi sekitar 30 orang, aku sudah menyiapkan ini semua karena aku tahu kalau aku semakin lama mulai kehilangan kendali.

"Ini... maafkan aku, semuanya, kuharap ini cukup untuk kalian, dan aku akan mengajak kalian ke salon malam ini dan makan malam, bagaimana?" tanyaku pada mereka.

Semuanya mendongak melihatku yang berdiri di pintu, kemudian melihat lantai yang ada uang dan 4 HP yang kusiapkan.

"Apa ini prank?" tanya Rita dengan suara penuh kebingungan dan masih ada sedikit rasa sakit di wajahnya.

Aku menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa bersalah yang mendalam. "bukan, ini bukan prank. Aku tahu apa yang kulakukan keterlaluan, dan aku ingin membayarnya"

Aku melanjutkan, "Aku sudah menyiapkan uang sebagai kompensasi, dan aku akan mengajak kalian ke salon untuk memperbaiki rambut kalian dan makan malam sebagai permintaan maafku. Aku benar-benar minta maaf atas apa yang terjadi"

Siti, Sheila, dan Anisa saling memandang, tampaknya mereka masih ragu, namun melihat uang dan HP baru di lantai, ada sedikit perubahan dalam ekspresi mereka. Mereka tidak sepenuhnya percaya dengan tawaranku, tetapi mereka juga tampaknya merasa terjaga oleh iming-iming kompensasi dan kesempatan untuk memperbaiki keadaan mereka.

"Bagaimana kalau kita bicarakan di luar sini?" kata Sheila, mencoba menjaga ketenangannya meskipun masih jelas terlihat marah. "Kami ingin memastikan ini semua benar."

Aku mengangguk. "Tentu, kita bisa berbicara di luar. Aku hanya ingin memastikan bahwa kalian mendapatkan yang terbaik setelah apa yang terjadi."

Kami keluar dari ruangan, dan aku membawa mereka ke ruang tamu yang lebih nyaman di rumahku. Di sana, aku menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang terjadi dan mengapa aku melakukannya. Aku menceritakan tentang dorongan yang tidak bisa aku jelaskan dan betapa aku sudah berusaha mengendalikan diri.

Sementara itu, mereka mulai memeriksa uang dan ponsel yang kuberikan. Melihat jumlah kompensasi dan barang-barang baru itu, keraguan mereka sedikit demi sedikit mulai berkurang, meskipun kemarahan dan kesedihan masih jelas terlihat di wajah mereka.

Setelah percakapan panjang yang penuh dengan penyesalan dan permintaan maaf, aku akhirnya berhasil meyakinkan mereka untuk pergi ke salon dan makan malam. Kami pergi bersama, dan di salon, mereka mendapatkan perawatan yang layak untuk memperbaiki rambut mereka.

Setelah semuanya pulang kerumah masing masing, aku pergi ke sawah, aku menenangkan diriku, untungnya Mereka memaafkanku, aku masih gemetar atas apa yang telah kulakukan, ketika di sekolah nanti, apa yang harus kulakukan?

Lama sekali aku merenung di sawah, hingga aku memutuskan untuk pindah sekolah saja, kuharap mereka tidak akan pernah melihatku lagi.

"Apa yang telah kulakukan?" tanyaku pada diriku sendiri...

bersambung...

(***)


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

(Part1) RAMBUT PANJANG BUNDA: PEMICU HAIRFETISH DALAM DIRIKU

(Pengunguman)

(Part 3) Pengalaman Hairplay dan memotong Rambut panjang guru Bahasa indonesia