(Part 23) Nostalgia di perjalanan menuju kampus
1 minggu kemudian...
Aku sudah berangkat menuju Kampus ITB, aku mungin akan mencari kosan saja, atau pulang pergi ke rumahku, tapi rumahku cukup jauh.
Di perjalanan ini, aku sempat tertidur, dan aku bermimpi saat aku masih kecil dulu dan saat aku masih SMA, aku mengingat sesuatu yang tidak akan kulupakan selamanya, bukan pengalaman bersama teman temanku, bukan juga pengalaman hairplay temanku dan Bu Aisyah, namun, yang kumimpikan adalah pengalaman Aku memainkan rambut panjang guru ngajiku sejak aku masih berumur 6 tahun.
14 Tahun yang lalu...
Kisah nyata
"Andi, Naufal, duduk dulu!" Ucap seorang gadis SMA yang mengajariku mengaji dimasjid bersama anak anak kecil lainnya.
Aku kemudian duduk setelah berlari lari di masjid bersama temanku di lantai masjid yang berkarpet merah, karpetnya bau karena saat diangkat dari penjemuran, karpetnya belum kering sempurna.
"Nah, anak anak, sebelum kita mulai pelajaran kita mari kita membaca bismillah terlebih dahulu" Kata Gadis SMA itu "Bismillah, hirrahman, nirrahim..." katanya sambil menuntun anak anak membaca bismillah.
![]() |
Rambut si gadis SMA saat aku kelas 2 SMA |
Tapi tentu saja tidak botak.
"Teh Adela! Aku nggak nyangka bisa ketemu lagi di sini," kataku dengan nada penuh kegembiraan.
Adela tersenyum lembut, "Iya, aku sekarang udah balik ke kota ini, lanjut kuliah S2 di sini. Kamu sendiri gimana? Masih SMA ya?"
Aku mengangguk sambil tersenyum, "Iya, kalau nggak ada kegiatan, aku sering di sini. Biasa nemenin anak-anak kecil belajar ngaji. Tapi sekarang banyak yang udah jarang ke masjid."
Adela menghela napas, "Iya, anak-anak sekarang susah ya diajak ke masjid. Dulu beda, aku ingat kamu juga sering bantu-bantu ngajarin mereka." Ia memandangku dengan penuh kenangan, lalu bertanya tiba-tiba, "Rambutku udah panjang, nih. Kamu masih kecewa?" tanyanya sambil tersenyum menggoda.
"Masih sih" jawabku.
Melihat Adela duduk di depanku, mengenakan hijab yang rapi, membuat kenangan masa kecil kembali melintas. Aku menatapnya sebentar, bertanya-tanya apakah mungkin aku bisa merasakan rambutnya lagi seperti dulu.
Setelah beberapa saat, aku memberanikan diri bertanya, "Teh... apa aku boleh... mainin rambut teteh lagi? kayak dulu?"
Adela memandangku dengan sedikit terkejut, lalu tersenyum. "Kamu masih suka rambut ya, Andi?" Dia menunduk sedikit sambil tertawa kecil, seolah tak percaya kalau kebiasaan lamaku belum berubah.
Aku tersipu, merasa agak malu dengan pertanyaanku. "Iya, maaf. Aku cuma... ya, kangen aja sama masa-masa dulu."
Adela terdiam sebentar, lalu matanya menatap ke arah luar jendela yang hujan deras. Ia kemudian menarik nafas panjang, seakan berpikir. "Hmmm... gimana ya, Andi? Aku udah jarang buka jilbab di depan orang sekarang."
Aku menunduk sedikit, merasa sedikit kecewa dengan jawabannya. Tapi sebelum aku bisa merespons, Adela melanjutkan, "Tapi untuk kamu, mungkin ada pengecualian"
Aku terkejut mendengar itu dan langsung menatapnya dengan penuh harap. "Serius, Teh?"
Adela mengangguk sambil tersenyum. "Iya, tapi nanti aja. Mungkin kalau kita ketemu di tempat yang lebih privat... aku bisa lepas hijabnya sebentar" katanya, aku berpikir sejenak "Dulu kan teteh gak buka hijab teteh kan? kayak gitu aja lagi" saranku penuh harap.
Adela terkejut mendengarnya, kemudian berfikir sejenak dan tersenyum "Hmm, boleh deh cuma bagian belakang hijab aja ya? selebihnya jangan dibuka, oke?" tanyanya, aku mengangguk "Iya, boleh" jawabku semangat.
Kemudian Adela ingin membalikan badannya, namun sebelum sempat, aku mencegahnya "Teh, kita di ruangan DKM aja yuk, aku ada kuncinya" kataku menyarankan sambil menepuk bahunya, Adela menoleh kemudian tersenyum "Boleh deh, tapi jangan macam macam ya" godanya "Gak akan lah" jawabku cemberut, Adela hanya tertawa sambil menuju ruang DKM yang letaknya di samping tempat wudhu di halaman masjid.
Kami kemudian masuk ke ruang DKM, ruangannya cukup kecil, disitu hanya ada satu meja dan satu kursi plastik, aku meminta Adela untuk duduk disitu, dan Adela menyanggupinya.
Ketika Adela ingin membuka hijabnya, aku menahan tangannya "Biar sama aku aja Teh" Kataku "Kalau di tempat yang tertutup kayak gini, gak apa apa kan kalau hijab Teteh aku lepas?" tanyaku.
Adela berpikir sejenak "Boleh lah, hitung hitung kamu orang kedua yang suka rambut aku panjang" katanya mempersilahkan "Yang pertama siapa?" tanyaku penasaran sambil meremas remas gelungan rambut dibalik hijabnya, mulai memainkan rambutnya.
"Yang pertama ibuku" katanya "Ayahku gak suka rambut aku panjang, pasti aku dibawa ke salon setahun sekali buat dipotong rambutku" ceritanya dengan suara sedih "Padahal aku suka banget rambut panjang" lanjutnya "Ooh, gitu ya" tanggapku sambil menyingkapkan bagian belakang hijabnya.
Aku kemudian melanjutkan meremas remas lagi gelungan rambutnya yang sekarang sudah tidak ditutupi hijab lagi "Ngomong ngomong, Ibumu ada dirumah? mau silaturahmi nih" katanya sambil menunduk karena tanganku mendorong gelungannya ke depan.
"Ibu udah meninggal 7 tahun yang lalu" jawabku datar, Adela tampak sedikit bergidik "Oh, Maaf, aku gak tau, Andi" katanya sedih "Gak apa apa kok" kataku sambil menarik Gelungan rambutnya ke belakang sehingga kepala Adela tegak lagi.
"Sampai kapan mau remas remas rambut terus?" tanyanya "Dibuka dong, kan kamu belum tau panjang rambut aku segimana sekarang" katanya dengan suara yang cenderung protes "bentar dulu Teh, ini baru mau dibuka" kataku sambil mencoba melepaskan ikat rambutnya yang menggelung rambutnya.
Aku melepas Ikat rambutnya, dan terbongkarlah rambut panjang tebalnya itu, aku semakin kagum lagi, karena rambutnya panjang sampai pantatnya.
"Nah gimana sekarang? puas kan rambutku udah panjang?" tanyanya menantang "Iya, aku puas kok" jawabku, aku kemudian menyisir rambutnya dengan jari jariku, meski tadi rambutnya digelung cukup ketat, tapi rambutnya sama sekali tidak terasa kusut di jari jariku. Adela menikmati rambutnya disisir oleh jari jari ku, namun beberapa saat kemudian, Adela membungkuk sejenak untuk mengambil tasnya, rambutnya yang tadi ada di jari jariku jadi ikut terlepas dari tanganku.
"Kenapa Teh?" tanyaku, Adela kembali dalam posisi duduk sambil merogoh tasnya, kemudian mengeluarkan sisir dan menyerahkannya padaku.
"Kurang nikmat kalau nyisir pake jari jari aja" kata Adela lembut "Nih, pake aja sisir, kebetulan aku selalu bawa kemana mana" katanya, aku menerimanya "Makasih Teh" kataku sambil memegang gagang sisirnya, kemudian menggeraikan rambut Adela ke belakang sandaran kursi agar aku bisa menyisirnya.
begitulah sampai saat ini, ia sering bertemu denganku untuk dimainkan rambutnya, kadang meminta rambutnya dipotong 1 cm, kadang minta dipijat dan sebagainya.
*****
"Kak, bangun kak, Udah sampai" kata Supir taksi online yang mengantarku ke kampus, aku turun sambil membawa barang barangku "Makasih pak" kataku sambil turun dari mobil, sebenarnya agak sebal juga karena aku dibangunkan sebelum ingatanku tentang rambut Adela belum selesai, tapi mungkin aku juga bisa melakukan hal yang sama di kampus ini, yah, semoga saja bisa....
Lanjjut bang
ReplyDeletelanjut
ReplyDeleteLanjut mas
ReplyDelete