(Part 25) Tragedi
Seminggu setelah kejadian Aku dengan Bu Damai. Aku jadi sering sekali dipanggil oleh Bu Damai untuk memijat kepalanya dan memainkan rambutnya. Terkadang, aku juga diminta Bu Damai untuk menata rambutnya dan memilihkan hijab yang cocok dengan pakaian yang ia pakai (Bu Damai tinggal di ruangannya karena rumahnya di Sumatera) dan masih banyak lagi.
Tapi. Ada yang tidak kami sadari saat aku memainkan rambut Bu Damai untuk pertama kali, yaitu adanya orang yang mengintip dari jendela luar dan memperhatikan kami bahkan memvideokan apa yang kami lakukan.
Siang hari. Saat aku memainkan rambut Bu Damai.
Seorang wanita dengan jilbab hitam pendek dan bertubuh tinggi mengintip kami dari balik jendela yang tak sepenuhnya ditutup tirai, beberapa menit ia melihat kami bertengkar, wanita itu langsung mengambil Handphone-nya untuk merekam cekcok kami.
"Itu Andi kan? kok bisa dia gak sopan begitu sama Bu Damai?" Gumamnya sambil membuka aplikasi kamera di Handphone-nya, kemudian mulai merekam kami.
Yang pertama kali ia rekam adalah kesetujuan Bu Damai akan keinginanku untuk memijat kepala Bu Damai sebagai permintaan maaf.
"Yaudah, tapi awas, jangan terlena apalagi keenakan!" katanya menyetujui dengan nada mengancam.
"Iya Bu, gak akan kok" kataku tenang, Mungkin Ibu yang bakal keenakan dengan tangan yang udah bikin beberapa perempuan yang rambutnya panjang jadi lunak, Pikirku.
Kemudian ia merekamku yang berjalan ke belakang Bu Damai, kemudian aku menarik rambutnya yang ikut tersandar ke kursi dan kemudian menaruh kedua tanganku di atas kepala Bu Damai dan mulai memijat kepalanya.
Bu Damai masih terlihat marah selama beberapa saat, namun setelah beberapa saat Bu Damai memejamkan matanya dan tersenyum kecil. aku kemudian memegang rambutnya dan kemudian menggoyangkannya, kepala Bu Damai juga ikut tergoyang ke depan dan kebelakang, kepala Bu Damai mengikuti kemana arah rambutnya ditarik, jika kutarik ke kiri, kepala Bu Damai juga ikut ke kiri, jika kutarik ke kanan Kepala Bu Damai juga ikut ke kanan.
"Ah, boleh juga si Andi itu. bisa juga dia bikin Bu Damai jadi lunak" Bisiknya sambil terus merekam, dia berbisik agar suaranya tak masuk ke kamera.
5 menit berlalu, aku melepas tanganku dari kepala Bu Damai yang sekarang wajahnya tertutup oleh rambutnya yang halus. "Udah lima menit Bu, Udahan kan?" tanyaku. Aku ingin mengetes apakah Bu Damai menikmatinya dan kecanduan?
"Eh jangan Andi, terusin dong" katanya sambil memegang tanganku "Ibu suka sama pijatan kamu, enak banget"
"Lho, kok malah Ibu yang kecanduan?" godaku sambil memegang rambut Bu Damai dan menciumnya "Boleh, tapi nanti aku boleh mainin rambut ibu ya?"
5 menit berlalu, aku melepas tanganku dari kepala Bu Damai yang sekarang wajahnya tertutup oleh rambutnya yang halus. "Udah lima menit Bu, Udahan kan?" tanyaku. Aku ingin mengetes apakah Bu Damai menikmatinya dan kecanduan?
"Eh jangan Andi, terusin dong" katanya sambil memegang tanganku "Ibu suka sama pijatan kamu, enak banget"
"Lho, kok malah Ibu yang kecanduan?" godaku sambil memegang rambut Bu Damai dan menciumnya "Boleh, tapi nanti aku boleh mainin rambut ibu ya?"
Wanita yang merekam kami itu menggeleng gelengkan kepalanya. Andi seorang Fetisher? Pikirnya.
Bu Damai menatapku yang sedang mencium rambut panjangnya di belakang "Ya udah boleh, tapi pijit dulu kepala ibu" katanya.
"Siap Bu" jawabku sambil menjauhkan mukaku dari rambut Bu Damai, kemudian menaruh tanganku diatas kepala Bu Damai dan kemudian lanjut memijatnya seperti tadi, kali ini Bu Damai tak bisa menahan suara yang menunjukan bahwa ia sangat menikmati pijatan ini, ia berkali kali bersuara "Ah, Ah, Ah" dan "terusin Andi, coba tarik pelan pelan rambut Ibu"
Wanita itu menyudahi rekamannya, ia kemudian memasukan Handphone-nya kedalam tas kecil berwarna pink. Ia menyingkir dari kaca itu tepat saat Bu Damai menutup pintu setelah aku keluar dari kantornya. Wanita itu berjalan cepat ke gedung seolah ingin menyampaikan sesuatu pada seseorang.
"Harus lapor rektor nih, harus" katanya sambil menyeringai lebar "Habislah kamu kali ini, Damai. Sekarang aku yang bakal jadi Rapunzel di antara seluruh dosen wanita disini"
*****
![]() |
Ikat rambut Bu Damai |
(Kembali lagi ke awal)
Ping! Sebuah pesan masuk ke Handphone milikku. Aku merogoh sakuku dan membuka Pesan yang masuk ke Handphone-ku, rupanya dari Bu Damai. Awalnya aku tersenyum dan bahagia saat mengetahui pesan itu dari Bu Damai. Namun saat membaca pesannya, Bayangan akan menyentuh rambut panjang Bu Damai hilang entah kemana.
"Datang ke kantor Ibu nanti jam 8 malam. Ada hal yang bahaya terkait dengan apa yang sering kita lakuin sejak seminggu ini" begitulah bunyi pesannya disertai emote tangan yang sering dipakai untuk minta maaf atau minta tolong.
"Ada apa ini?" tanyaku dalam hati. Aku kemudian memasukan kembali Handphone - ku dan bergegas pulang ke Kost-an ku.
*****
Jam 8 malam, seperti yang telah diminta Bu Damai. aku pergi ke kantornya dan mengetuk pintu kantornya. Beberapa saat kemudian Bu Damai membukakan pintu untukku dan menyuruhku masuk.
"Ada apa bu?" tanyaku langsung tanpa basa basi sambil duduk di kursi setelah dipersilakan oleh Bu Damai, Bu Damai duduk di depanku sambil menghela nafas.
"Jadi gini Andi" katanya "Kamu ingat waktu kamu mainin rambut Ibu kemarin? kalau lupa parah sih"
"Aku ingat bu, kenapa sama itu?" tanyaku, setahuku Bu Damai sudah mengiklaskan itu semua.
Tanpa menjawab, Bu Damai langsung membuka hijabnya di hadapanku, membuatku terangsang seketika.
"Kemarin, ternyata kejadian itu diketahui sama pihak rektor. Ibu ketemu dia dan dia bilang ada yang melaporkannya dan bahkan merekam kejadian itu, dan Ibu dikasih pilihan sama dia; Pilih Dibotak dan ditonton semua mahasiswa dan dipecat dari sini, atau Dibotak sama kamu di hadapan para dosen dan dipecat juga" Jelas Bu Damai dengan mata berkaca kaca.
Seketika aku merasa tersengat oleh listrik, aku sangat sangat tak menyangka akan ada kejadian seperti ini. Yang benar saja? pikirku.
"Ibu mau kamu yang jawab pilihan ini, karena pilihannya sama sama botak dan dipecat juga" kata Bu Damai yang semakin menekanku, aku merasa seolah olah aku telah menghamili seorang gadis dan gadis itu memintaku untuk bertanggung jawab. Meski Bu Damai bukan lagi seorang gadis.
"Aku..." Aku berpikir sejenak, pikiranku kalut. Siapa yang mengetahui ini?! Kenapa bisa jadi begini? Kenapa? kenapa? Tapi ini bukan saatnya berpikir tentang itu, aku harus memikirkan hal lain yang jauh lebih gawat.
Pilihannya ada dua; Dibotak olehku di hadapan seluruh mahasiswa atau Dosen. Dan kedua pilihan ini sama sama dipecat karena dianggap mencemarkan nama baik Kampus. Pilihan pertama, kurasa akan lebih memalukan bagi Bu Damai karena dilakukan dihadapan seluruh mahasiswa, yang sudah pasti menganggap Bu Damai adalah dosen terbaik mereka. Kalau begitu berarti pilihan yang tersisa adalah dibotak dihadapan para dosen dosen lainnya.
"Bu" kataku pelan sambil menatap Bu Damai yang menunggu jawabanku dengan pasrah "Aku pilih yang terakhir"
Bu Damai menghela nafas perlahan, kemudian ia berdiri dari kursinya dan berjalan kesampingku sambil berkata "Oke, kalau memang itu yang kamu mau, Ibu turuti. Hadapkan kursimu ke arah Ibu" tambahnya.
"Apa?" tanyaku bingung.
"Ah, nggak jadi deh, kamu berdiri dulu coba" kata Bu Damai sambil menatapku, Aku kemudian berdiri tanpa banyak bertanya. Namun, setelah aku berdiri, kejadian berikutnya sungguh diluar dugaan.
Bu Damai berlutut di lantai, kemudian ia menurunkan celana olahraga hitam yang kupakai. Sontak aku kaget dan ingin menghentikan Bu Damai, tapi Bu Damai mencegahku sambil menaruh telunjuknya di bibirnya.
"Sssht! Diamlah... Ibu mau kasih kamu hadiah, ini bakal jadi yang terakhir" katanya pelan. Aku kemudian hanya terpaku, meskipun sebenarnya tanganku ingin sekali bergerak untuk mencegah tangan Bu Damai yang sekarang membuka celana dalamku, memperlihatkan Penisku yang sudah berdiri sejak Bu Damai membuka hijabnya.
"Jadi..." kata Bu Damai sambil mengelus Penisku dengan telunjuknya "Ini yang terjadi kalau kamu liat rambut Ibu?" tambahnya sambil membuka gelungannya dengan tangannya yang bebas.
"Mau ap..." kata kataku langsung terhenti ketika Bu Damai dengan melilitkan rambut panjangnya yang indah ke penisku. Kemudian Bu Damai mengocoknya perlahan dan mendorong perutku kembali ke kursi dengan satu tangan, Aku yang masih shock otomatis duduk di kursiku lagi. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Semakin lama kocokan Bu Damai semakin cepat, sampai ketika aku mau muncrat, Bu Damai menghentikannya.
"Ke, kenapa?" tanyaku sambil terengah engah, padahal aku tak melakukan apa apa "Kenapa berhenti?"
"Kamu mau muncrat?" goda Bu Damai, aku mengangguk pelan. Bu Damai terkikik pelan.
"Padahal menurut ibu kamu gak pernah ngelakuin ini" kata Bu Damai, aku menggeleng.
"Aku memang belum pernah begini Bu" jawabku sambil menyentuh ujung rambut Bu Damai yang melilit penisku, tiba tiba Bu Damai menepis tanganku.
"Udah kamu diem aja, Ibu aja yang ngelakuin semuanya" kata Bu Damai sambil melilitkan sisa rambutnya yang belum ia lilitkan pada penisku yang sudah memerah dan keras.
"Ah" rintihku ketika Bu Damai kembali melakukan aksinya, ia kembali mengocok penisku dengan rambut rambutnya yang indah, ia mengocok dengan cepat sekali.
"Bu, aku mau muncrat" kataku dengan pinggang sedikit gemetaran akibat menahan sperma yang mau keluar. Kalau muncrat wajah Bu Damai bisa kena, pikirku.
"Gak apa apa, keluarin aja" kata Bu Damai sambil meremas remas pelan penisku, aku yang akhirnya tak tahan lagi kemudian mengeluarkan sperma dan mengenai wajah Bu Damai, Bu Damai menutup mata dan mulutnya sejenak agar tak ada yang masuk ke dalam.
"Spermamu banyak juga ya?" tanya Bu Damai sambil mencolek spermaku yang ada di pipinya "Sehat juga. Kamu mau lagi?"
Aku mengangguk, aku sudah tak peduli lagi dengan apa yang terjadi denganku sekarang, yang penting aku puas. Bu Damai kemudian menggelung rambutnya dan duduk membelakangiku.
"Sekarang, kamu yang lakuin ya, tusuk tusukin aja penismu itu ke dalam rambut ibu" katanya.
Sontak aku berdiri, kemudian aku memasukan penisku ke dalam gelungan Bu Damai yang tebal, setelah aku merasakan penisku masuk dengan sempurna, aku kemudian mulai menggerakan pinggulku pelan pelan sambil tetap memastikan bahwa penisku tidak keluar jalur. Bu Damai sendiri memejamkan matanya, menikmati permainan kami. Hingga akhirnya, Aku kembali mengeluarkan sperma, kali ini sangat banyak hingga tak dapat ditampung oleh gelungan Bu Damai.
Satu jam telah berlalu, kali ini aku tidur terentang sambil terengah engah dengan penis yang masih mengeluarkan sperma, sedangkan Bu Damai rambutnya sudah dipenuhi oleh spermaku dan sebagian besar wajah Bu Damai terkena oleh spermaku. Bu Damai tersenyum lemah padaku.
"Setelah ini, kita gak akan bisa kayak gini lagi" katanya "Ini udah malam, mending kamu balik aja. besok pagi jam 8 datang ke kantor rektor, botakin Ibu di sana, oke?"
Aku hanya mengangguk dan bangkit berdiri.
*****
Pagi pagi aku datang ke ruang rektor, selama perjalanan aku terus terusan teringat dengan kejadian kemarin, perasaanku setengah senang dan setengah menyesal. Ini pertama kalinya bagiku, jadi agak aneh rasanya. Aku juga tak habis pikir kenapa Bu Damai sendiri yang mau memberikan kehormatan Rambutnya untuk diacak acak olehku, sudah jelas aku mengambil keperawanan rambut Bu Damai.
"Kamu terlambat, Andi" kata sebuah suara saat aku masuk ke ruang rektor. Di ruang rektor ini semua dosen sudah berkumpul dan membentuk setengah lingkaran, sementara tepat di tengah tengah mereka duduklah Bu Damai dengan rambutnya yang diikat menjadi beberapa ikat, menunggu malapetaka menyongsongnya. Aku menelan ludah saat menatap Bu Damai yang menunduk, rasanya seperti mau menyembelih hewan saja.
"Maaf pak" kataku sambil menyalami pak dosen, namanya Pak Asep. Dia rektor kampus ini.
"Ini kesepakatan yang udah kalian pilih kan?" tanyanya.
"Iya pak" Jawabku pelan.
"HEH! jangan gak tahu diri ya kamu, kamu udah malu maluin universitas ini dan sekarang kamu jawab sekenannya sama pak rektor?!" bentak seorang dosen perempuan, usianya kira kira sama seperti Bu Damai.
"Maaf bu" jawabku pelan, sebetulnya aku sangat jengkel sekali.
"Sudah sudah, tenang dulu. Kita selesaikan masalah ini dengan adil, Bu Damai juga sudah setuju buat digunduli rambutnya" kata Pak Asep menengahi. Huh, adil apanya? apa bisa disebut adil jika merugikan salah satu pihak? Pikirku. "Nah, Andi. Silakan kamu ambil gunting sama clipper ini dan mulai botakin Bu Damai ya?" pintanya lembut sambil menyodorkan gunting dan clipper dengan kedua tangannya padaku.
Aku mengambinya dengan hati hati dan menyimpan clipper di saku dada bajuku, sekarang aku akan memotong rambut Bu Damai saja dulu. Aku kemudian mendekati Bu Damai dan berdiri dibelakangnya, beberapa dosen yang tadinya ada di belakang Bu Damai mundur sedikit agar aku bisa mendapat ruang.
"Aku mulai ya, Bu?" Aku berbisik pada Bu Damai sambil memegang salah satu ikatan rambutnya.
"Iya Andi, Silakan" Bu Damai balas berbisik, aku menarik nafas, kemudian aku mulai memotong rambut Bu Damai.
Suara kerik dari gunting yang memotong rambut Bu Damai memenuhi ruangan yang awalnya sunyi, semua dosen menahan nafas melihatku memotong Rambut Panjang Bu Damai yang panjang dan indah, aku sebetulnya tak tega, namun melihat Bu Damai yang tetap teguh (Maksudku, tanpa ekspresi apa pun di wajahnya), aku tetap meneruskan memotong Rambut Panjang Bu Damai. Satu ikatan telah terpotong, aku menjatuhkannya ke lantai begitu saja, begitu juga ikatan kedua, dan ketiga.
Kini, Rambut Bu Damai yang awalnya panjang sampai pantatnya, kini tinggal sebahu, itu pun dengan potongan yang tak rata panjang pendeknya, aku kemudian mengambil clipper dan menyalakannya, kemudian aku menaruhnya di depan kepala Bu Damai, dan menggerakkannya ke arahku secara perlahan, Bu Damai menutup matanya dan merasakan rambutnya terjatuh sedikit demi sedikit. Sejujurnya aku suka ini, ekspresi Bu Damai yang pasrah, suara clipper yang mirip suara ASMR bagiku. Namun di satu sisi, aku juga merasa kasihan dengan Bu Damai, dia jadi botak karena aku juga, namun demi melindungiku, Bu Damai rela kepalanya gundul demi aku bisa meneruskan kuliah disini.
Satu jam telah berlalu, aku selesai menggunduli rambut Bu Damai. para dosen juga sudah mulai menggerak gerakkan kaki mereka akibat pegal berdiri lama, beberapa yang berdiri di dekat tembok menyandarkan diri disana.
"Aku udah selesai" kataku pelan sambil menatap semua dosen.
"Baiklah kalau begitu, Andi" kata rektor dengan nada resmi yang menurutku tak perlu "Sekarang, kamu bisa keluar dulu sama dosen itu" katanya sambil menunjuk salah satu dosen laki laki kurus dan lebih pendek dariku "Dia yang bakal nentuin hukuman kamu"
Aku mengangguk dan segera keluar dari ruangan bersama dosen tadi, sebelum keluar aku menoleh kebelakang dan menatap Bu Damai yang menunduk, Bu Damai menatapku juga dan tersenyum lemah sebelum pintu ditutup oleh rektor.
*****
Aku pulang ke asramaku dengan perasaan hampa, aku menggenggam sebuah ikat rambut berwarna abu abu yang diberikan Bu Damai diam diam saat aku sedang menggunduli kepalanya dan sedikit pesan yang ditulis di secarik kertas.
"Meski rambut ibu udah gak ada (dan kamu juga gak mungkin bisa ngambil pas botakin ibu) ini ada ikat rambut Ibu, wanginya sama kayak rambut ibu, dan kamu boleh pasang di penis kamu kalau lagi kangen rambut ibu ya..."
Aku membaca kertas itu dengan perasaan menyesal dan bersalah, tak ku sangka, Bu Damai ternyata orangnya sebaik ini. Tapi urusan ini masih belum selesai, aku harus segera mencari siapa yang menyebarkan kegiatanku saat sedang memainkan rambut Bu Damai.
"Butuh bantuan?" kata sebuah suara di belakangku.
Aku menoleh karena kaget, aku kenal suara ini, dan betul saja.
"Ya" jawabku segera sambil memperlihatkan kertas dari Bu Damai "Sudah keluar dari penjara kau rupanya?"
"Tentu saja" kata orang itu sambil membuka jaket hitamnya "Sekalipun aku sudah di penjara, aku tak akan segan membantu temanku meski berhubungan dengan tindak kriminal lagi"
Orang itu tertawa, dan aku tersenyum lebar menatap teman yang pernah mendirikan salon bersamaku dan melakukan penculikan terhadap perempuan yang berambut panjang. Orang itu adalah Faiz.
Catatan (tak perlu baca kalau tak mau, ini cuma klarifikasi)
Maaf karena pembuatan cerita yang lama, karena aku sendiri sakit setelah ujian akhir yang berhubung harus dioperasi, ini membuatku tak bisa menggerakkan tangan. karena itu pembuatan cerita jadi tertunda sampai satu bulan lamanya dari waktu yang di janjikan.
Aku akan melanjutkan ini dengan bantuan sepupu yang juga hf, jadi jangan khawatir ('0')/
Akhirnya lanjut
ReplyDeleteehehe, maaf lama
Deletemantapp bang, lanjut lagi bangg
ReplyDeleteUpdate cerita nya berapa hari / berapa minggu sekali
ReplyDeleteLanjutkan mas bro
ReplyDelete