(Part 20) Suster tetangga
Hari ini aku diminta untuk menjaga tetanggaku, pak Darsono, seorang kakek tua berusia 70 tahunan yang sakit sakitan, dan aku ditawari bayaran, untuk satu harinya sebanyak Rp 100.000, yah, karena tidak ada kerjaan, jadi aku lakukan saja, kalau misalnya aku tidak dibayar pun tak masalah, karena aku cukup ikhas.
Keluarga pak Darsono sedang pergi dengan ayahku ke luar negeri karena urusan bisnis, awalnya saat keluarganya pergi, pak Darsono masih sehat sehat saja, tapi setelah seminggu, pak Darsono jatuh sakit, keluarganya tidak bisa langsung pulang, sehingga, ayahku memintaku untuk menjaganya dulu sampai mereka pulang kembali.
"aku bukan dokter" kataku pada ayahku di telopon "Aku gak bisa nyembuhin penyakitnya, ayah juga tau kan aku sehari harinya ngapain" lanjutku.
"Iya, ayah tau" jawab ayahku "Ayah gak minta Aa buat nyembuhin penyakitnya, tapi bantuin aja pak Darsono, misalnya bantuin jalan, bikinin makan, suapin, dan beresin rumah" jelas ayahku "nanti ada suster yang disewa pak Sandi (anak pak Darsono), tapi susternya kalaupun susternya udah dateng, kamu tetep bantuin buat beresin rumah karena suster gak mungkin juga beresin rumah" lanjut ayahku.
aku hanya terdiam mendengarnya "Gimana? gak apa apa kan, kan salon ada karyawan, jadi gak apa apa dong" kata ayahku, aku menghela nafas "Ok ok, aku ke rumah pak Darsono sekarang" kataku menyetujui.
****
Pagi pagi keesokan Harinya, suster itu datang ke rumah pak Darsono, aku mempersilahkannya masuk, kemudian membawakan barangnya ke kamarnya yang disediakan di lantai 2 bersebelahan denganku, barangnya cukup banyak dan berat, mulai dari peralatan medis, obat obatan, sampai barang pribadi, aku kemudian berkenalan dengan Suster itu.
Namanya Rani, usianya 30 tahun, namun wajahnya masih seperti berumur 25 tahun, hal yang menarik darinya adalah kemampuan masaknya yang bagus, malah menurutku, dia lebih jago masak daripada menjadi suster, dan, gelungan rambutnya yang besar.
![]() |
Buka gelungan Bu Rani |
"Kamu tidur aja, biar saya jang jagain pak Darsono" kata Bu Rani sambil menyuapi Pak Darsono di malam hari, aku yang sedang membereskan sprai kasur pak Darsono mengangguk "Oke sus" jawabku "panggil aja aku teteh atau kak" kata Bu Rani, aku tersenyum kemudian menggeleng "Bukannya umur sus tuh 30 tahun? kok aku harus manggil suster "teh" atau "kak"? boleh gak aku panggil Bu aja?" tanyaku sambil bercanda, Bu Rani tersenyum kecut mendengar perkataanku "Iiiih, yaudah terserah" katanya, aku hanya tertawa mendengarnya "Aku bercanda aja kok" kataku sambil meninggalkan kamar Pak Darsono yang bersama bu Rani, Aku Berjalan ke kamarku sambil memikirkan bagaimana cara merayu Bu rani agar aku bisa memainkan rambutnya yang indah, atau hanya sekedar membuka gelungan rambutnya saja.
Di kamarku, aku berbaring di kasur sambil memandangi langit-langit. Pikiran tentang Bu Rani terus berputar. Aku tahu ini bukan hal yang pantas, tapi keinginan untuk sekadar melihat atau bahkan memainkan rambutnya begitu kuat. Mungkin ini cuma karena aku bosan, atau mungkin karena suasana rumah Pak Darsono yang sepi membuat pikiranku jadi melantur.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus mengembara. Sekitar jam dua pagi, aku mendengar langkah-langkah pelan di luar kamarku. Suara langkah itu mendekat dan berhenti tepat di depan pintu. Aku menahan napas, penasaran siapa yang terjaga di tengah malam seperti ini. Perlahan, pintu kamarku diketuk.
"Tok... tok... tok..."
Aku bangun dari tempat tidur dan membuka pintu. Di depan pintu, berdiri Bu Rani, tampak lelah, Rambutnya yang tergelung besar itu masih bertengger di kepalanya, meskipun beberapa helai rambut sudah mulai terlepas.
"Kenapa, Bu?" tanyaku, sedikit terkejut melihatnya di tengah malam.
"boleh gak kita ngobrol ngobrol? Pak Darsono udah tertidur," jawabnya sambil tersenyum kecil "Ah, iya, kebetulan aku nggak bisa tidur tadi," jawabku jujur, Bu Rani masuk dan menatapku dengan tatapan lembut "Kamu nggak capek jagain Pak Darsono?"
Aku menggeleng. "Nggak kok, Bu"
Kami terdiam sejenak, saling menatap dengan canggung. Aku mencoba mencari cara untuk mendekati pembicaraan yang sebenarnya sudah ada di kepalaku sejak tadi.
“Bu, boleh nggak saya tanya sesuatu?” tanyaku pelan, berharap Bu Rani tidak salah paham “Apa?” jawabnya dengan nada ramah, Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Rambut Ibu... panjang banget ya? aku lihat dari gelungannya besar sekali.”
Bu Rani tertawa kecil, tapi ada sedikit rasa heran di wajahnya. “Iya, lumayan panjang. Kenapa memangnya?" Aku menggaruk-garuk kepala, bingung bagaimana cara menyampaikannya. “aku penasaran... eh, ... boleh nggak kalau sekali-kali Ibu buka gelungannya? Pasti rambutnya indah banget.”
Bu Rani terdiam. Aku takut sudah kelewatan batas, Bu Rani tersenyum lembut. “Kenapa, kamu mau lihat?” Aku mengangguk, merasa malu tapi tidak bisa mengelak. “Iya, Bu. Kalau Ibu nggak keberatan.”
Bu Rani terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu, dia mengangguk pelan. “Tunggu sebentar.”
Aku berdiri di depan pintu, sementara Bu Rani masuk ke kamarnya. Beberapa menit kemudian, dia keluar sambil membawa sebuah sisir "Boleh Ibu duduk disini?" tanya Bu rani menunjuk kursi kayu yang ada di sudut kamarku, aku mengangguk, kemudian Bu rani membawa kursi itu ke depan kasur.
kemudian Bu Rani duduk di kursi di depan kasur yang aku duduki, Tanpa banyak bicara, dia mulai membuka gelungannya perlahan-lahan. Rambutnya mulai terurai, jatuh dengan lembut dan mengalir bagaikan air hitam yang indah. Rambut itu begitu panjang, terurai hingga mencapai pantatnya, Aku terpana melihatnya.
“Wah, panjang banget ya, Bu,” kataku takjub, tak bisa menyembunyikan rasa kagum, Bu Rani tertawa pelan sambil merapikan rambutnya dengan jari-jari tangannya. “Iya, panjangnya kadang bikin ribet, Tapi saya sudah terbiasa.”
Aku mendekat, merasa semakin tertarik. “Bu, boleh nggak... Aku sisirin rambutnya?” Bu Rani memandangku sejenak, lalu mengangkat bahu. “Boleh saja. Tapi hati-hati ya, jangan sampai rambutnya kusut.”
Aku mengambil sisir yang dipegang Bu Rani dan mulai menyisir rambutnya dengan lembut. Setiap helai rambutnya begitu halus, seolah-olah aku sedang menyentuh sutra. Aku bisa merasakan kehangatan dari rambutnya yang terawat dengan baik, Suasana malam itu terasa hangat, meskipun hanya ada kami berdua di tengah rumah yang sunyi. Bu Rani memejamkan mata, menikmati setiap sisiran yang aku lakukan. Sekilas, aku bisa melihat senyum kecil di bibirnya. Sepertinya dia juga menikmati momen ini, meski mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
“Kamu ternyata bisa nyisir dengan baik juga, ya,” kata Bu Rani sambil tersenyum, Aku tertawa kecil. “Iya, Bu. aku punya salon. jadi udah biasa” kataku "Ooh pantas aja" kata Bu rani sambil tersenyum
Kami kemudian berbincang ringan, tentang pekerjaan Bu Rani di rumah sakit dan hal hal lainnya, kemudian setelah beberapa saat, Bu Rani menggelung kembali rambutnya dengan rapi dan berdiri. “Terima kasih, ya. Saya senang bisa ngobrol sama kamu,”Aku tersenyum, merasa lega dan bahagia. “Sama-sama, Bu. Terima kasih juga sudah mau berbagi”
Sejak saat itu, Bu Rani tidak lagi menggelung rambutnya, ia hanya mengikat rambutnya saja karena ia tahu bahwa aku menyukai rambut panjangnya, aku masih merasa belum puas memainkan rambut Bu Rani, aku bukan cuma ingin memainkannya, tapi juga ingin mencuci rambutnya yang panjang atau bahkan memotong rambutnya dan menjadikannya koleksi untukku.
Beberapa hari berlalu, dan aku semakin akrab dengan Bu Rani. Setiap pagi, sebelum mulai merawat Pak Darsono, kami selalu mengobrol di dapur sambil menikmati sarapan sederhana yang biasanya Bu Rani buat. Hubungan kami sudah seperti teman baik.
Suatu pagi, saat Pak Darsono sedang tertidur lelap, Bu Rani duduk di sofa dengan rambutnya terurai panjang. Dia sibuk menonton acara televisi sambil menyeruput teh hangat. Aku duduk di sampingnya, mencoba mencari cara untuk memulai pembicaraan yang lebih berani “Bu Rani, rambut Ibu Pasti perawatannya ribet, ya?” tanyaku mencoba membuka obrolan sambil memperhatikan rambutnya yang berkilau.
“Iya, lumayan ribet sih. Harus rajin dicuci dan dirawat,” jawabnya sambil tersenyum, tangannya dengan lembut menyisir helaian rambutnya. “Makanya, kalau ada yang bantu nyisir kayak kamu kemarin, rasanya senang banget” Aku tertawa kecil “Kalau boleh, aku mau bantu cuci rambut Ibu. Biar nggak ribet.” Sebenarnya, aku hanya ingin merasakan lebih dekat lagi keindahan rambutnya.
Bu Rani menatapku sejenak, kemudian tersenyum simpul. “Kamu lucu deh. Ya sudah, kalau kamu mau bantu, nanti sore kita cuci bareng di kamar mandi ya, nanti kamu bawain kursi juga" kata Bu Rani.
Jantungku berdegup kencang. Aku tidak menyangka Bu Rani akan mengiyakan permintaanku. “Serius, Bu? Wah, makasih banyak, ya!” jawabku senang, mencoba menyembunyikan gairahku yang menggila.
*****
Sore harinya, aku memanggil Bu Rani yang sedang duduk main HP di runag makan"Bu, jadi gak nih?" Tanyaku yang terlihat nagih, Bu rani terkejut "Oh iya, Ibu lupa, yaudah atuh kalau gitu, kamu ambil aja dulu kursi plastik bawa ke kamar mandi biar ibu bisa duduk disitu" katanya sambil meletakan HP nya di meja makan, aku bergumam sebentar sebelum melanjutkan "Tapi,... Cuma ada kursi plastik yang buat jongkok, gak ada yang biasa gak apa apa Bu?" tanyaku memastikan, Bu rani berpikir sejenak "Berhubung Ibu udah janji sama kamu, jadi gak apa apalah, yuk" katanya sambil berdiri kemudian naik ke lantai 2 bersamaku yang memegang kursi plastik kecil.
aku dan Bu Rani bersiap-siap di kamar mandi yang cukup luas. Bu Rani melepas ikatan rambutnya dan membiarkannya terurai. Aku menghidupkan shower, Bu Rani duduk di kursi itu, kemudian aku bersiap membasahi rambut panjangnya yang menyentuh lantai kamar mandi karena rendahya kursi itu.
"Udah siap Bu?" tanyaku sambil meletakan shower di atas kepalanya, Bu Rani hanya mengangguk, kemudian memejamkan matanya dan kepalanya menengadah keatas, aku menyalakan Shower dan air dingin langsung mengalir dan mengenai rambutnya yang panjang.
Tangan-tanganku bergerak dengan hati-hati, menyentuh rambutnya yang licin terkena air. Aku menuangkan sampo ke telapak tangan dan mulai memijat kulit kepalanya dengan lembut. Bu Rani menutup matanya, terlihat menikmati sensasi sentuhanku. Aku merasa seperti sedang merawat sebuah mahakarya, sesuatu yang berharga dan indah.
“Enak nggak, Bu?” tanyaku pelan “Enak banget. Kamu pintar banget mijat kepala,” jawabnya sambil tersenyum, wajahnya terlihat sangat rileks Saat aku membilas rambutnya, aku merasa semakin sulit menahan diri. Dalam benakku, aku mulai membayangkan bagaimana jika aku bisa memiliki rambut ini. Rasanya aneh, tapi hasratku semakin kuat.
“Bu, kalau suatu saat Ibu bosan dengan rambut panjang, aku boleh potongin nggak?” tanyaku memberanikan diri, berusaha agar terdengar seperti candaan, Bu Rani membuka matanya dan tertawa kecil. “Iya deh, kalau rambut ini sudah terlalu panjang dan merepotkan, kamu boleh potongin. Tapi jangan sekarang, ya.”
Kata-katanya terdengar seperti lampu hijau bagiku. Meski terasa salah, keinginanku kini memiliki tujuan. Aku membilas rambutnya dengan saksama, memastikan tidak ada sampo yang tertinggal. Setelah selesai, Bu Rani mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menatapku dengan tatapan puas.
“Makasih Andi. Kamu baik banget mau repot-repot cuci rambut Ibu,” katanya dengan senyum tulus, Aku hanya mengangguk, mungkin saja kalau aku memberitahu tentang fetish yang kumiliki ini, tapi tak usah lah, bisa repot nanti.
*****
Dua hari kemudian, keluarga Pak Darsono pulang, bersamaan dengan masuknya keluarga Pak Darsono ke rumah, aku juga keluar dari rumahnya, kembali pulang, dan suster Rani masih tetap berada disana selama satu sampai dua bulan (Begitu kata bu Rani, jadi, mungkin aku masih punya kesempatan memotong rambutnya), tapi aku mengeyampingkan pikiran itu, karena tinggal 2 minggu lagi, aku akan kuliah.
Ìlanjut part 2
ReplyDeletekenapa gk bikin cerita di FIZZO novel aja bang
ReplyDelete