(Part 22) Terima kasih Suster Rani

 Aku kembali menemui Suster Rani 3 hari setelah membotaki rambut Hasna, alasan kenapa aku kembali ke rumah Pak Darsono karena keluarganya akan pergi lagi selama 3 hari (Lagi lagi dengan ayahku), kali ini aku kesana bukan hanya membawa baju baju saja, tapi aku juga membawa gunting, sisir, dan clipper, aku ingin memiliki rambut Suster Rani bagaimanapun Caranya.

"Assalamuaikum" sapaku sambil mengetok pintu rumah Pak Darsono, butuh 2 kali lagi ketukan dan salam dariku sampai Bu Rani yang membuka pintunya.

"Waalaikumsalam" jawabnya sambil membuka pintu, kemudian ia cukup terkejut melihatku yang datang "Eh Andi, kamu datang lagi?" tanyanya sambil mempersilakanku masuk, aku mengangguk "Iya bu, disuruh ayah lagi" kataku sambil duduk di sofa "Mana pak Darsono?" tanyaku memulai basa basi, Bu Rani duduk di sofa seberangku "Lagi tidur" jawabnya sambil tersenyum, Bu Rani menawariku air putih, namun aku menolaknya dengan halus.

Suster Ratna


"Bu" kataku pada Bu Rani "Ya? kenapa Andi?" tanyanya sambil tersenyum, aku menghela nafas sebelum kembali berkata, mengumpulkan keberanian "Mmm, boleh gak, aku mainin rambut ibu lagi?" tanyaku berusaha menahan gemetaran suaraku, Bu Rani terkejut mendengar permintaanku.

"Wah wah, kamu masih inget sama rambut ibu?" katanya sambil mengeleng gelengkan kepalanya "Boleh aja" katanya mengizinkan sambil tertawa, bunga bunga seolah bermekaran di hatiku "Tapi... ada syaratnya" lanjut Bu Rani sambil tersenyum menang, bunga bunga yang tadi bermekaran di hatiku langsung layu saat mendengarnya.

"Syarat, apa?" tanyaku penasaran, tumben ada syaratnya segala, dulu gak ada kok, pikirku.

"Syaratnya.." kata Bu Rani menggantungkan kalimatnya "Kamu harus keramasin rambut ibu, gimana? setuju kan? gak keberatan?" tanyanya beruntun, aku menelan ludah, itu saja? kukira aku harus apa, pikirku.

"Setuju lah bu" kataku menyanggupi, aku sudah pasti senang bisa mengkeramasi rambut perempuan lagi, Bu Cucu saja rambutnya sudah tidak kukeramasi hampir sebulan, paling hanya beliau sendiri yang merawat rambutnya yang sudah panjang sampai betisnya.


Kami pun kemudian berjalan menuju kamar mandi di lantai dua, aku sempat ke kamar yang dulu aku tinggali untuk mengambil kursi kecil yang juga pernah dipakai Bu Rani.

"Gak apa apa kan bu?" tanyaku pada Bu Rani "Nggak apa apa kok Andi, Ibu malah seneng kamu mau keramasin rambut ibu" katanya sambil tertawa, kemudian duduk di kursi yang aku sediakan.

Saat Bu Rani ingin melepas kondenya, aku mencegahnya dengan cepat "Biar sama aku aja Bu" kataku sambil memegang tangan Bu Ratna yang akan segera membongkar kondenya, Bu Rani hanya mengangguk sambil menurunkan tangannya.

Aku kemudian menarik ujung rambut yang diselipkan Bu Rani menjadi konde dengan hati hati, dan menaruh sisa konde rambutnya yang belum terbuka sempurna di pundaknya "Goyang goyangin kepalanya Bu" suruhku, Bu Rani pun mengoyang goyangkan kepalanya dan rambutnya pun langsung tergerai sempurna.

aku kemudian menyisir rambutnya terlebih dahulu agar rambutnya tidak terlalu kusut, setelah itu, aku kemudian menyalakan shower dan siap membasahi rambutnya yang ujungnya sudah basah karena menyentuh lantai kamar mandi.

"Siap bu" tanyaku, Bu Rani mengangguk sambil menengadahkan kepalanya ke atas dan menutup matanya, aku langsung membasahi rambutnya itu, Bu Rani hanya tersenyum, menikamati rambutnnya dibasahi olehku.

Setelah sempurna membasahi, aku kemudian memberikan shammpo pada rambut Bu Rani, langsung saja kutuangkan diatas kepalanya, sehingga shammponya jadi kebanyakan "Jangan banyak banyak dong, mubadzir nantinya" Bu Rani menasihati sambil tersenyum, matanya masih tetap terpejam "Hehe, iya bu" jawabku sambil menutup kembali tutup shammpo.

Aku mulai menggosok-gosok lembut kepala Bu Rani, membiarkan shampoo berbusa dan menyelimuti rambutnya yang panjang dan hitam legam. Aku bisa merasakan tekstur rambutnya yang halus di antara jari-jariku, sensasi ini membuatku merasa senang.

Bu Rani tetap menutup matanya sambil tersenyum, tampaknya ia benar-benar menikmati proses keramas ini. "Lembut banget kamu gosoknya, Andi," katanya sambil tertawa kecil, "kayak anakku sendiri yang lagi ngerawat rambut ibunya, meski ibu belum nikah sih" lanjutnya sambil tertawa, aku juga ikut tertawa.

Aku berusaha menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba menyeruak. Tanganku terus bekerja, menggosok bagian belakang kepalanya dengan hati-hati, memastikan semua bagian rambutnya terkena shampoo. Namun, pikiran di dalam kepalaku terus berpacu, tak bisa berhenti memikirkan langkah selanjutnya. Aku tidak hanya ingin keramasin rambutnya. Aku ingin koleksi rambutnya juga.

Setelah beberapa menit, busa shampo mulai memenuhi rambut Bu Rani dan menetes ke lantai. "Udah bersih kayaknya, Bu," kataku "Mau langsung dibilas sekarang?"

Bu Rani membuka sedikit matanya dan mengangguk. "Bilas ya, Andi. Tapi hati-hati, jangan sampai kena mata."

Aku menyalakan shower lagi, kali ini lebih tenang, dan mulai membilas busa dari rambutnya. Air yang mengalir perlahan membawa busa-busa shampoo itu pergi, memperlihatkan kembali kilauan alami rambutnya. Seiring rambutnya yang semakin bersih, semakin tinggi rasa ingin memilikinya.

Setelah membilas rambutnya hingga bersih, aku mengambil handuk yang sudah kusiapkan. "Sini, Bu. Aku handukin ya," tawarku "Boleh" kata Bu Rani sambil tersenyum dan berdiri, kemudian ia mengambil posisi rukuk dan mengedepankan rambutnya dengan tangannya, Aku mengeringkan rambutnya dengan perlahan..

"Terima kasih, Andi. Rambut Ibu jadi bersih dan segar sekarang," ucap Bu Rani sambil tertawa kecil. Ia mulai mengelap bagian leher dan wajahnya dengan handuk.

Namun, saat Bu Ratna hendak keluar kamar mandi, aku tiba-tiba berkata, "Bu... boleh gak aku potong rambut Ibu, sekarang?"

Bu Rani menatapku sejenak "Kamu serius, Andi?" tanyanya, Aku mengangguk cepat "Iya, Bu" jawabku, Bu Rani mempertimbangkan permintaanku,  akhirnya ia menghela nafas lalu tersenyum. "Kalau kamu emang pengen banget sama rambut ibu, ibu izinkan, tapi jangan terlalu pendek ya, Andi" katanya.

Aku mengangguk senang, akhirnya, sebentar lagi, rambutnya akan menjadi miliku!

"Tapi jangan di sini" kata Bu Rani "Kita ke kamar aja" lanjut Bu Ratna, aku mengangguk setuju.

Kami pun berjalan menuju kamar tidur Bu Rani yang letaknya cuma 3 langkah disamping kamar mandi, tidak lupa aku pun  ke kamarku dulu untuk mengambil gunting, sisir, karet, dan lainnya, kemudian menyusul ke kamar Bu Rani.

*****

Di kamar, kulihat Bu Rani sudah duduk di kursi menghadap ke cermin, beliau tersenyum kepadaku melalui cermin "Ibu gak sedih bakal kehilangan rambut ibu?" tanyaku heran karena Bu Rani seperti tidak keberatan.

Untuk pertama kalinya, kecemasan tersirat di wajah Bu Rani meski hanya sedikit "hmm" gumamnya "Sebenarnya Ibu juga sedih bakal kehilangan rambut ibu yang ibu rawat lama dan ibu sayangi, dan, seperti yang kamu tahu, ibu belum nikah, dan ibu juga pengen banget punya anak, Andi jadi ibu anggap sebagai anak, jadi anggap aja memenuhi keinginan anak" jelasnya sambil memejamkan matanya, aku jadi tidak enak, awalnya Bu Rani biasa saja sebelum aku bertanya dan sekarang Bu Rani langsung khawatir.

"Meski kamu udah mau kuliah, tapi kamu gak keberatan kan ibu anggap anak?" tanyanya sambil menoleh kebelakang, aku mengangguk "Nggak apa apa kok bu, kebetulan ibu aku juga udah meninggal" jawabku sambil melangkah ke Bu Ratna yang duduk di kursi depan cermin.

"Oh, gitu ya" tanggap Bu Rani, membiarkan aku memegang rambut panjangnya "Eh, Andi, sebentar, jangan dulu dipotong" katanya menghentikan tanganku yang dari tadi mengelus elus rambutnya yang agak kusut karena dikeringkan handuk.

"Kenapa bu?" tanyaku penasaran, jangan jangan Bu Rani berubah pikiran? pikirku, tapi ternyata tidak "Ibu mau kasih salam perpisahan dulu sama rambut ibu" katanya "Boleh deh bu" kataku mengizinkan.

Kemudian Bu Rani berdiri dari kursi, menyisir rambut panjangnya yang masih sedikit lembap dengan jemari. Ia tampak merenung sejenak, matanya berkaca-kaca. "Rambut ini sudah menemani ibu bertahun-tahun," katanya dengan suara bergetar. "Ibu belum pernah potong rambut selama ini karena setiap helaiannya berarti buat ibu" lanjutnya.

Aku hanya bisa berdiri diam, merasakan campuran perasaan senang dan bersalah. Senang karena sebentar lagi aku akan mendapatkan sesuatu yang sudah lama kuinginkan, namun juga merasa bersalah karena telah memintanya dengan begitu egois, tapi tidak ada salahnya kan? lagi pula kalau Bu Rani tidak mengizinkanku, aku juga tidak akan memaksa.

"Ibu bakal kangen sama rambut ibu" lanjut Bu Rani sambil membelai ujung rambutnya. "Tapi kalau memang ini yang kamu mau, ibu siap. Kadang perpisahan memang harus terjadi, bukan?"

Bu Rani kembali duduk di kursi, menatapku melalui cermin. "Andi, kamu bisa mulai sekarang ya," katanya dengan senyuman kecil, senyumnya tampak penuh keikhlasan.

Aku mengangguk "tapi sebelum aku potong, boleh aku keringin rambut ibu lebih lanjut?" tanyaku, Bu Rani mengangguk "Boleh, tapi jangan lama lama ya, nanti Ibu bisa rubah pikiran mumpung belum dipotong" katanya sambil tertawa canggung.

Aku kemudian mengambil hair driyer dari laci di meja berkaca depan Bu Rani, kemudian memasangnya dan menyalakannya, angin yang cukup panas menerbangkan rambut Bu Rani, seolah olah rambutnya dimainkan oleh angin, setelah beberapa lama, Rambut Bu rani kering sempurna.

Aku mengeluarkan gunting dari tasku, gemetar ketika tanganku mendekati rambut panjangnya yang sudah siap dipotong. "Ibu siap?" tanyaku, berharap ia tidak berubah pikiran lagi.

"Ya" jawab Bu Rani sambil menutup matanya, membiarkan aku yang sepenuhnya memutuskan.

Dengan hati-hati, aku mulai merapikan rambutnya, menyisir pelan hingga rata. Aku mengikat rambutnya dengan karet agar potongannya rapi. Lalu, dengan satu kali tarikan nafas, aku mulai memotong.

'Kreees!.....Kreeees!......Kreees!'

Setiap helai rambut yang terpotong dari kepalanya terasa berat di tanganku. Guntingku bergerak perlahan, seolah aku sedang memotong kenangan dan harapan Bu Rani.

beberapa saat kemudian, rambut yang pernah panjang dan lebat kini hanya tersisa sebahu. Bu Rani membuka matanya, melihat pantulan dirinya di cermin. Ia tersenyum, meski senyumnya kali ini dipenuhi keharuan. "yaaah, rambutkuu... pendek...." katanya dengan suara yang dibuat buat "kok berantakan ya Andi?" tanyanya sambil memegang ujung rambutnya yang masih panjang sebelah disana sini.

"Sebentar, aku belum ngerapihin rambut Ibu" kataku sambil meletakan Rambut panjang Bu rani yang sudah terpotong di pangkuan Bu Rani, Bu Rani menerimanya dengan tangan bergetar.

Aku kemudian mengambil kain yang cukup lebar di kasur dan memasangnya di leher Bu Rani, agar potongan rambutnya tidak masuk ke baju Bu Rani, Bu rani kemudian membetulkan Posisi duduknya supaya tegak.

'Krees!...Kreees!....Kreees!' Rambutnya kembali berguguran dipotong oleh guntingku.

aku merapikat Rambut Bu Rani, sambil merapikan rambutnya, aku bertanya "Bu, mau dibuatin poni gak?" tanyaku, Bu rani perpikir sejenak sambil melihat wajahnya di cermin "Boleh, kayaknya cocok" katanya sambil tersenyum, awalnya beliau mau mengangguk, tapi takut aku jadi salah potong karena kepalanya bergerak, maka ia tidak jadi mengangguk.

Selesai merapikan rambutnya yang kini sudah rapi, aku kemudian menyisir sedikit rambutnya kedepan untuk dijadikan pony "Aduh, sedikit sedikit dong Andi, jangan sekaligus" protes Bu Rani karena matanya tercolok oleh rambutnya "Ehehe, maaf bu" Jawabku sambil terkekeh, kemudian aku memotongnya, Bu Rani langsung memejamkan matanya lembut.

Setelah beberapa saat, akhirnya rambut Bu Rani menjadi model long bob.

Aku mengambil rambut yang ditaruh Bu Rani di meja dengan perasaan senang "Terima kasih, Bu Rani" kataku pelan, sambil menyimpan rambut yang kini menjadi milikku kedalam tas.

Bu Rani menatapku dengan lembut. "Sama sama Andi, ingat, Jaga baik-baik rambut ibu, Itu bukan sekadar potongan rambut, ini bagian dari hidup ibu"

Aku mengangguk sambil merapikan kembali alat-alatku. Di dalam hatiku, perasaan senang bercampur dengan perasaan bersalah, namun satu hal yang pasti: rambut Bu Rani kini menjadi milikku, seperti yang selalu kuinginkan, nah, minggu depan saatnya kau berangkat kuliah, apa lagi yang akan menungguku disana?

Potongan rambut Bu Rani (Ilustrasi)


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

(Part1) RAMBUT PANJANG BUNDA: PEMICU HAIRFETISH DALAM DIRIKU

(Part 3) Pengalaman Hairplay dan memotong Rambut panjang guru Bahasa indonesia

(Part 10) Santriwati Pondok AZ-ZAHRA