(Part 24) Dibalik hijab Bu Dosen favorit

     "Andi? hei, kamu gak apa apa?"
Aku terbangun dari tidurku, entah sejak kapan aku tertidur dikelas. Saat aku melihat keselilingku, semua orang sudah pergi.

     "Oh, Ibu" kataku agak terkejut melihat kalau dosenlah yang membangunkanku.
"Kamu ini kenapa sih? kok bisa bisanya tidur?" Tanyanya jengkel "Kamu kurang istirahat atau apa?"
     "Yah" gumamku sambil berdiri dan mengambil tasku dibawah kursi "Aku cuma kurang istirahat aja sih, soalnya aku ada pekerjaan paruh waktu"

     "Yaudah, tapi ingat, jangan sekali kali tidur lagi di kelas ibu, kalau ketahuan tidur lagi, awas kamu" katanya dengan nada mengancam.
     "Iya iya" kataku tak peduli dengan ancaman barusan, kemudian aku mencoba berjalan keluar kelas, tapi bu dosen ini menghalangiku.

     "Jangan dulu keluar, bantu ibu bawain ini" katanya sambil menunjuk mejanya yang penuh dengan kardus kardus berat.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
     "Cuma buku" jawabnya datar "Ayo cepetan, udah mau maghrib"

     Aku mengangguk, kemudian mengikutinya ke meja dan mengambil 2 kardus besar dan mengangkatnya. Isinya memang buku dan berat sekali (Meski bagiku seperti mengangkat batu besar) dan satu bukunya tebal tebal seperti kitab.

     "Bawa kemana bu?" tanyaku, mukaku tak terlihat karena terhalang kardus.
"Ke bawah, lantai satu" katanya santai sambil mengangkat satu kardus besar itu "Sisanya kita bisa minta bantuan ke yang lewat" tambahnya sambil melirik dua kardus tersisa "Ayo cepet"

     Kami pun keluar kelas dan menuruni tangga, Bu Dosen sempat meminta bantuan pada dua mahasiswa yang sedang nongkrong di tangga untuk mengambil dua kardus lagi dan membawanya ke bawah.

     Aku melirik Bu Dosen itu, Namanya Bu Damai. Beliau sebetulnya dosen favorit di fakultasku, usianya baru 25 tahun, enam tahun lebih tua dariku dan tingginya hanya sebahuku. Perawakannya tak kurus dan tak gendut. Sebetulnya menurutku tak ada yang menarik dari Bu Damai ini (Meskipun sebetulnya teman temanku banyak yang suka karena Bu Damai cantik sekali) tapi, aku penasaran dengan rambutnya, kira kira panjangnya segimana ya? pikirku sambil melihat hijab Bu Damai yang jendolan dibelakang kepalanya tidak begitu besar.

     Kami akhirnya sampai di lantai satu, aku mengikuti Bu Damai kebelakang tangga dan menyimpan buku buku itu disitu.
"Simpan disitu" katanya ketika melihat dua mahasiswa yang tadi diminta Bu Damai untuk membantu, Dua mahasiswa itu hanya mengangguk sopan sambil tersenyum.

     Sudah lama, pikirku, "Sudah lama sekali aku tak lagi membongkar hijab perempuan dan memainkan rambutnya" gumamku sambil berjalan ke kost tempat ku tinggal.
"Tapi.." Lanjutku sambil menaiki tangga, menyeringai lebar "Kurasa aku bisa menjadikan Bu Damai sebagai Target selanjutnya" kataku sambil masuk ke kamarku dan menutup pintu dibelakangku.

     Aku kemudian menatap sebuah papan kecil dari kayu yang berisi foto foto perempuan yang akan kujadikan Target selanjutnya, aku menamai papan kayu ini dengan nama 'Planning Program Buka Hijab' Aku kemudian membuka Laptopku dan mencari foto Bu Damai di folder guru universitasku, setelah mendapatkannya, aku lanjut mengeprint fotonya dengan printer yang kebetulan aku bawa dari rumah.

     Aku kemudian menempelkan Foto Bu Damai di papan itu, namun aku tak lagi menemukan jarum yang biasanya kupakai untuk menempelkan foto foto target, tapi aku menemukan tusuk konde dari laci (dulu pernah kubeli sebagai pajangan) kemudian aku menusuk foto bagian atas Bu Damai dengan tusuk konde itu sekuat mungkin, untung tusuk konde yang kupakai itu agak runcing.

     Aku tiduran di kasur sambil menatap papan itu, kemudian tersenyum dan berbalik dan langsung tertidur. Papan itu bukan saja hanya berisi foto para korban saja, tapi hasilnya juga jika aku berhasil, termasuk di papan itu ada foto Bu Aisyah dan di sampingnya ada foto rambut Bu Aisyah yang kupotong.

*****

Gelungan Bu Damai


     Besoknya, aku langsung menyusun rencana untuk bisa melihat Rambut Bu Damai. entah bagaimana caranya, akan kulihat nanti.

     Pagi hari yang cerah di hari minggu. Aku mendatangi Bu Damai sedang makan mie goreng di kantin kampus. Bu Damai segera menyadari kedatanganku.

     "Eh, Andi. Ada apa pagi pagi kesini? ada kelas?" tanyanya.
"Ah, nggak kok Bu, cuma bosen aja di kost. Jadi sekalian aja jalan jalan kesini" jawabku, kemarin Bu Damai marah marah namun sekarang sifatnya sangat ramah, namun wajahnya terlihat lelah.

     "Sini Duduk bareng ibu, kamu udah sarapan belum?" tanyanya sambil tersenyum.
"Udah sih, cuma masih laper, sekalian aja aku beli makanan kali ya?" kataku sambil duduk di kursi samping Bu Damai.

     Bu Damai hanya mengangguk, kemudian aku bangkit lagi dan menuju stand penjualan mie goreng dan rebus, aku langsung memesan mie rebus dengan telor dan kemudian kembali lagi ke tempat Bu Damai duduk.

     "Bu, Hari ini kok kelihatannya capek banget sih?" tanyaku memulai basa basi.
     "Iya, minggu ini Ibu banyak kerjaan, jadi capek" jawab Bu Damai sambil memijat mijat kepalanya.

     Tak lama kemudian, mie yang kupesan datang.
"Bu, setelah ini, mau gak aku buatin teh?" tawarku ramah sambil mulai memakan mie-ku.
"Eh, gak apa apa kok Andi, gak usah repot repot" Bu Damai menolak halus.
"Udah bu, gak apa apa, lagian aku juga gak ada kerjaan hari ini" kataku.
Setelah berpikir sejenak, Bu Damai menganggukan kepalanya.

     "Boleh deh, tapi dimana?" tanya Bu Damai.
     "Di ruangan ibu aja, gimana?" tanyaku.
     "Boleh deh, yaudah. Sekarang habisin dulu mie kamu, baru setelah itu keruangan ibu ya, ibu tungguin" kata Bu Damai sambil tersenyum.
     "Eh, Gak usah bu. Ibu duluan aja, aku sekalian mau beli sesuatu dulu dan takut lama juga. Jadi Ibu tungguin aja dulu di ruangan Ibu" kataku menolak dengan halus.

     Bu Damai sebetulnya curiga, tapi ia menyetujuinya.
"Yaudah kalau gitu, ibu duluan ya" katanya sambil tersenyum kemudian bangkit berdiri.
"Iya bu" jawabku ramah.

     Saat Bu Damai sudah tak terlihat olehku lagi, aku langsung mengambil HP ku, kemudian aku mencari kontak temanku dan meneloponnya.
     "Halo bro? boleh ketemuan di depan kantin? aku mau beli barangmu itu" kataku.
"Barang apa?" tanya temanku. "Aku jual banyak barang"
"Em... apa namanya ya? obat yang bisa bikin tidur itu loh, tau kan?" tanyaku. Temanku ini menjual obat obatan.
"Oh, maksudnya Lelap? ada ada, mau beli berapa?" tanya temanku lagi.
"Dua butir aja" jawabku pendek.
"Oke bro, otw" jawab temanku sambil menutup telpon.

     Aku menghela nafas perlahan, kemudian aku menyeringai. Saatnya menjalankan rencana! Pikirku.

*****
     Lima menit kemudian, temanku datang.

     "Ini Bro" katanya sambil menyerahkan Dua kaplet obat berwarna biru dalam plastik kecil.
     "Makasih ya, berapa harganya?" tanyaku sambil memasukan obat itu kedalam saku celana panjangku.
     Temanku menyebutkan harganya, aku langsung membayarnya dengan uang pas, kemudian kami berpamitan.

     Setelah berpamitan, Aku bergegas ke minimarket kecil di dekat kantin untuk membeli sekotak teh celup dan beberapa camilan sebagai alasan tambahan untuk masuk ke ruangannya.

    Ketika aku tiba di depan ruangan Bu Damai, aku mengetuk pintu dengan sopan. "Permisi, Bu," panggilku.

     "Masuk aja, Andi," jawabnya dari dalam.

     Aku membuka pintu dan melihat Bu Damai sedang duduk di kursinya, terlihat masih sibuk dengan dokumen-dokumen di mejanya. Wajahnya tampak lelah, seperti tadi di kantin.

     "Ini Bu, aku bawain teh sama camilan buat Ibu. Lumayan kan, biar ada tenaga lagi," kataku sambil meletakkan barang-barang yang kubawa di meja kecil di sudut ruangan.

     "Ah, terima kasih, Andi. Kamu baik banget, deh," katanya sambil tersenyum. Senyumnya terlihat tulus, tapi aku tahu aku harus tetap hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan.

     Aku menyiapkan teh di sudut ruangan, sambil memperhatikan sekitar. Ruangannya cukup rapi, dan ada cermin kecil di dekat mejanya. Mungkin ini kesempatan yang tepat untuk memulai pembicaraan.

     "Bu, boleh tanya sesuatu nggak?" tanyaku, mencoba membuka obrolan lebih santai.

     "Ya, tentu. Ada apa?" jawabnya, masih sibuk dengan dokumen di tangannya.

     "Bu, aku selalu penasaran. Ibu itu kan selalu kelihatan rapi banget ya, terutama soal hijabnya. Ibu sendiri yang ngatur, atau ada trik khusus biar selalu terlihat bagus kayak gitu?" tanyaku sambil mencoba terdengar tulus.

     Bu Damai tertawa kecil. "Oh, nggak ada trik khusus, kok. Aku cuma pakai model yang sederhana. Tapi emang aku suka ngatur sendiri biar nyaman dipakai seharian."

     Aku mengangguk, pura-pura serius. "Pasti ribet ya, Bu, apalagi kalau rambutnya panjang. Ibu rambutnya panjang nggak sih?" tanyaku, mencoba menggiring pembicaraan ke arah yang kuinginkan.

     "Ya lumayan panjang, sih. Tapi nggak panjang banget, kok," jawabnya sambil melirikku, mulai curiga. "Kenapa nanya gitu?"

     "Ah, cuma penasaran aja, Bu. Soalnya teman-teman di kampus sering bahas soal model hijab yang praktis buat rambut panjang," kataku, berusaha menyembunyikan maksud sebenarnya.

     "Oh, gitu. Ya, rambut panjang memang butuh perawatan lebih. Tapi aku udah biasa, jadi nggak terlalu repot," katanya sambil melanjutkan pekerjaannya.

     Aku merasa ini saatnya untuk mengambil langkah berikutnya. "Bu, kalau Ibu capek, mau aku bantu nggak? Mungkin pijat kepala atau sekadar bantu rapihin hijab, biar Ibu lebih rileks?" tanyaku dengan nada ramah, mencoba menawarkan bantuan.

     Bu Damai tampak sedikit terkejut dengan tawaranku, tapi ia tidak langsung menolak. "Wah, tawaran menarik, sih. Tapi nggak usah repot, Andi. Ibu bisa urus sendiri," katanya sambil tersenyum.

     Aku hanya tertawa kecil. "Ah, nggak apa-apa kok, Bu. Lagian, Ibu udah capek banget, kan?" jawabku sambil mengambil teh yang sudah siap dan meletakkannya di mejanya.

     Bu Damai hanya mengangguk, aku kemudian mengambil obat tidur dari saku celanaku. Bu Damai menolak, kalau begitu rencana kedua, aku tidurkan saja Bu Damai dan kubuka hijabnya, Pikirku sambil mencelupkan dua obat itu sekaligus agar efeknya langsung terasa.

     Pelan pelan, obat itu mulai menyatu dengan Teh, aku kemudian mengaduknya agar lebih tercampur, untung warna tehnya tak berubah. Aku kemudian membawanya ke meja Bu Damai.

     "Ini Bu tehnya" kataku sambil menaruhnya di meja Bu Damai.
     "Wah, makasih ya Andi, kamu baik banget" Jawab Bu Damai sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk.

     Kemudian Bu Damai Meniup tehnya pelan pelan, lalu meminumnya dengan hati hati, aku menyaksikan itu dengan jantung berdebar debar. Kemudian saat teh Bu Damai tinggal setengah lagi, Bu Damai mengambil biskuit yang juga kubeli untuk Bu Damai dan mencelupkannya kedalam tehnya.

     Bu Damai memakan biskuit yang dicelupkan kedalam teh itu selama beberapa menit. Sampai akhirnya Bu Damai mulai mengantuk.

     "Aduh, kok ibu jadi ngantuk banget ya?" katanya sambil berusaha mempertahankan matanya.
     "Ibu belum tidur kali?" kataku sambil berdiri dari kursi tempat aku duduk. Obat Bu Damai mulai bekerja!
     "Nggak kok, kemarin Ibu tidur cukup" katanya sambil memegang kepalanya. "Aduh, kepala ibu berat banget, gak kuat..."

     Bruk!

     Bu Damai langsung jatuh tertidur di mejanya, tangannya menyenggol gelas tehnya dan pecah berkeping keping "Uah!" kataku agak panik sambil menutupi telingaku.

     Aku kemudian tersenyum, untungnya Bu Damai sudah benar benar tertidur. Kemudian aku mengambil sapu disudut ruangan dan membersihkan gelas yang sudah pecah itu. Selesai membersihkannya, aku kemudian ke belakang Bu Damai.

     "Bu Damai, maaf ya" kataku sambil tersenyum penuh kemenangan dan membetulkan posisi duduk Bu Damai agar tegak. kemudian aku membuka hijabnya dan WOW!

     Rambutnya yang digelung itu terlihat sangat berkilau dan wangiiii sekali. Dengan tangan gemetar, aku membuka Gelungan Rambut Bu damai, Kepalanya tertarik pelan saat aku membuka gelung rambutnya dan rambut panjangnya tergerai dengan sangat halus, seperti air yang jatuh.

     Panjang rambut Bu Damai kira kira sampai pantatnya, Aku kemudian mengambil Tas Bu Damai yang ada di kolong mejanya dan mencari sisir, Ketemu! sisirnya berwarna pink dan bentuknya seperti sisir pada umumnya. Aku mengambilnya dan menggunakannya untuk menyisir rambut Bu Damai.

     Aku berkali kali mengikat rambut Bu Damai menjadi High ponytail dan melepasnya lagi, kemudian aku melakukan hal yang sama lagi dan begitu juga selanjutnya. Hingga tanpa ku sadari Bu Damai tersadar dari tidurnya.

     "ANDI!!!" Jeritnya yang membuatku tersentak dan mundur kebelakang, menabrak lukisan yang dipajang di dinding dan membuatnya jatuh. Wajahku pucat sekali, seketika keringat dingin mengucur di tengkukku. Bu Damai menutupi belakang kepalanya dengan hijab yang belum sempurna kubuka. Rambutnya kelihatan panjang sampai pantatnya. kemudian berdiri dan menghadap kebelakang, menatapku tajam. Belum pernah kulihat Bu Damai semarah ini, wajahnya merah dengan mata berkaca kaca berusaha menahan tangis.

     "Belum pernah..." katanya parau "Belum pernah ibu diginiin sama murid sendiri, kenapa Andi?! KENAPA KAMU LAKUIN INI KE IBU?!!" 

     Bu Damai langsung menangis senggugukan, betul betul syok dengan kelakuanku. Aku hanya terdiam disitu, merasa bersalah. Belum pernah aku mengalami situasi yang lebih gawat dari ini.

     Bu Damai menatap tasnya yang terbuka "Kamu sampai bikin Ibu tidur, buka tas Ibu sembarangan, sekarang, kamu juga buka hijab ibu sampai ngerusak kehormatan rambut Ibu juga" katanya sambil menutup tasnya dan melemparnya kearahku. Aku menangkap tasnya. Siapa tahu ada barang berharga yang gampang pecah, lagipula lemparannya pelan, Pikirku sambil meletakan tasnya dibawah.

    "Maaf bu" kataku pelan "Aku betul betul gak nahan, Konde Rambut Ibu bener bener ngebuat aku gak bisa nahan, jadi..." Belum selesai aku mengatakannya, Bu Damai menyelaku.
     "Tapi tetep aja Andi, yang kayak gini itu gak bisa dimaafkan, gak bisa dimaklumkan, kamu itu sekolah gak sih? tahu hal yang baik sama buruk gak sih? bisa bedain gak sih yang mana yang benar, bisa gak..." Bu Damai berkata dengan berapi api.

     Aku hanya diam saja saat Bu Damai bilang begitu, aku bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tapi untuk ini aku tak bisa menahannya.

     "Gini deh bu" katanku sambil mengangkat tangan kananku untuk meminta Bu Damai memberikan ceramah yang lebih panjang lagi "Buat permintaan maaf, aku bakal pijitin kepala ibu sama benerin jilbab dan rambut ibu, Gimana?" tanyaku, sebetulnya agak bodoh juga menawarkan bantuan untuk memijat kepala Bu Damai, tapi ku coba saja dulu.

     "Mana mau!? Kamu udah acak acak rambut Ibu kamu masih mau pegang pegang?!" Bentaknya.

    Yah, sudah kuduga sih, Pikirku "Bukan maksudnya mau ngapa ngapain rambut ibu lagi, cuma mau buat permintaan maaf aja karena aku udah ngacak ngacak rambut Ibu sekarang aku mau benerin rambut ibu, gimana bu?" tanyaku.

     Bu Damai menghapus air matanya dengan ujung hijab yang ia kenakan dan berpikir sejenak, kemudian dengan ragu ragu Bu damai mengangguk pelan.

     "Yaudah, tapi awas, jangan terlena apalagi keenakan!" katanya menyetujui dengan nada mengancam, Aku mengangguk.

     "Iya Bu, gak akan kok" kataku tenang, Mungkin Ibu yang bakal keenakan dengan tangan yang udah bikin beberapa perempuan yang rambutnya panjang jadi lunak, Pikirku.

     Bu Damai kemudian menggeser kursinya dan duduk, kemudian ia melepas hijabnya dan menaruhnya di atas meja. "Sok, buruan, lima menit aja ya?" katanya ketus.

     "Oke Bu" jawabku sambil berjalan ke belakang Bu Damai, kemudian aku menarik rambutnya yang ikut tersandar ke kursi dan kemudian menaruh kedua tanganku  diatas kepala Bu Damai.

     Bu Damai masih terlihat marah selama beberapa saat, namun setelah beberapa saat Bu Damai memejamkan matanya dan tersenyum kecil. aku kemudian memegang rambutnya dan kemudian menggoyangkannya, kepala Bu Damai juga ikut tergoyang kedepan dan kebelakang, kepala Bu Damai mengikuti kemana arah rambutnya ditarik, jika kutarik ke kiri, kepala Bu Damai juga ikut ke kiri, jika kutarik ke kanan Kepala Bu Damai juga ikut ke kanan.

     5 menit berlalu, aku melepas tanganku dari kepala Bu Damai yang sekarang wajahnya tertutup oleh rambutnya yang halus. "Udah lima menit Bu, Udahan kan?" tanyaku. Aku ingin mengetes apakah Bu Damai menikmatinya dan kecanduan?

     "Eh jangan Andi, terusin dong" katanya sambil memegang tanganku "Ibu suka sama pijatan kamu, enak banget"

     "Lho, kok malah Ibu yang kecanduan?" godaku sambil memegang rambut Bu Damai dan menciumnya "Boleh, tapi nanti aku boleh mainin rambut ibu ya?"

     Bu Damai menatapku yang sedang mencium rambut panjangnya di belakang "Ya udah boleh, tapi pijit dulu kepala ibu" katanya.
"Siap Bu" jawabku sambil menjauhkan mukaku dari rambut Bu Damai, kemudian menaruh tanganku diatas kepala Bu Damai dan kemudian lanjut memijatnya seperti tadi, kali ini Bu Damai tak bisa menahan suara yang menunjukan bahwa ia sangat menikmati pijatan ini, ia berkali kali bersuara "Ah, Ah, Ah" dan "terusin Andi, coba tarik pelan pelan rambut Ibu"

     Aku menarik rambut Bu Damai pelan pelan, kepala Bu damai juga ikut tertarik kebelakang sampai aku bisa melihat senyumannya dan matanya yang menutup juga bibirnya yang bergerak saat mendesah "Ah..." saat aku menarik rambutnya lagi.

     Tak terasa waktu sudah berlalu dan sekarang matahari mulai tenggelam. Baik aku atau Bu Damai sama sama menyudahi semua ini, aku kemudian mengambil ikat rambut Bu Damai dan menggelung rambut panjangnya kemudian usil meremas remas gelungannya selama beberapa saat sebelum Bu Damai memakai hijabnya lagi. Aku kemudian berpamitan dengan Bu Damai.

     "Aku pulang dulu ya Bu, Maaf buat yang tadi" kataku sambil keluar ruangan.
"Iya gak apa apa Andi, jangan diulang lagi ya, Dan oh iya, besok bisa kesini lagi? pijitin kepala ibu lagi ya?" Kata Bu Damai sambil tersenyum.

    Aku membalas senyuman Bu Damai dengan senyum juga "Iya bisa Bu, besok aku bakal datang lagi" jawabku sambil melambai pada Bu Damai dan melangkah pergi. Bu Damai kemudian menutup pintu dan menguncinya sambil tersenyum, kemudian ia duduk di mejanya dan meremas remas gelungannya yang tertutup hijab selama beberapa detik dan tiba tiba tertawa kecil "Ibu harap kamu bisa datang betulan, Andi" gumamnya.

    Tanpa disadari oleh aku dan Bu Damai, seseorang telah berlari meninggalkan Ruangan belakang Bu Damai, Ia telah mengintip kaca itu sejak tadi siang.

Comments

Popular posts from this blog

(Part1) RAMBUT PANJANG BUNDA: PEMICU HAIRFETISH DALAM DIRIKU

(Part 3) Pengalaman Hairplay dan memotong Rambut panjang guru Bahasa indonesia

(Part 10) Santriwati Pondok AZ-ZAHRA